LINGKAR BUMI

Berita Petualangan & Lingkungan

KOPI PAHIT AFDELING BANDEALIT

Berarti telah genap delapan hari perjalanan ini telah dilalui. Total 58 kilometer telah dilewati. Mulai dari kawasan gunung Pancer, menembus pantai Rajegwesi, masuk daerah Sukamade, mendaki gunung Permisan, mampir di pesisir Permisan, melewati pasir Meru dan berakhir di daerah Bandealit.

Baru pukul tujuh malam, keseluruhan tim besar perjalanan panjang Mapala UI berkumpul di desa paling dekat dengan batas barat Taman Nasional Meru Betiri (TNMB). Desa Sumbergadung namanya. Jumlah penduduk desa ini ada 24 kepala keluarga. Sesuai dengan namanya, pantas bila ditemukan banyak singkong disana, karena gadung dalam bahasa jawa timur atau madura berarti singkong atau ketela.

Aksen atau logat madura, terdengar kental di daerah yang banyak dilintasi banteng ini. Sebuah rumah dengan diesel menyala, tampak paling terang disana, selain sebuah mushola yang kukuh berdiri berdinding tembok. Rumah ini yang paling, dengan penghuni seorang pemuda dengan kedua kaki, mulai dari lutut ke bawah tak ada. Ia berjalan dengan bantuan tangan, menyambut kami yang kelelahan. Seorang teman yang kesakitan pada kakinya, tampak sedang dipijat, sementara dikejauhan tampak remang-remang rumah penduduk lainnya.

Rumah-rumah lain, tampak menyempit dengan pembagian kotak-kotak rata, seluas lima kali lima meter. Terlalu sempit tampaknya rumah-rumah jatah tersebut. Sehingga beberapa keluarga tampak mendirikan gubuk berdinding bambu sebagai dapur.

Pak Har, seorang kepala keluarga di bilangan rumah sempit tersebut sempat saya temui. Dengan ramah ia menawarkan kopi hitam, hasil kebun afdeling daerah tersebut. Sambil menghisap tembakau lintingan, kopi ini kemudian menjadi terasa pahit, bila mendengar cerita mereka.

Seperti cerita Pak Har, yang katanya hanya menerima Rp 6000,- perhari, sebagai ongkos kerja mengurus kebun kopi afdeling tersebut. Jelas dengan uang hanya sebanyak itu, tak banyak nilai kesejahteraan hidup didapatnya.

Pendidikan tertinggi yang bisa didapat hanya sebatas sekolah dasar. Karena bila mau melanjutkan ke sekolah menengah pertama, berarti harus siap mengeluarkan uang, mengongkosi anaknya sekolah di daerah Ambulu, kota besar terdekat yang bisa dicapai. Sekolah dasar saja mereka harus menuju ke desa Cawang. Yang berkilo-kilo meter jauhnya. Dengan resiko tidak bisa ke sekolah, bila kebetulan banteng lewat terlalu siang ke sumber air.

“Susah hidup disini, saya merasa dibohongi. Tak seperti janji-janji dahulu,” ucap Pak Har.

Pak Har sendiri sebelumnya orang madura. Ketika kawasan afdeling diresmikan dengan Hak Guna Usaha (HGU), maka rekrutment besar-besaran diambil dari penduduk yang berminat. Termasuk Pak Har, yang merelakan pergi dari tanah kelahirannya, untuk mengadu nasib.

Sekarang Pak Har hanya berharap, ia memiliki tabungan cukup untuk membeli tanah di sekitar Taman Nasional. Sebuah mimpi muluk, bila dibandingkan dengan pemasukan pendapatannya, yang berada di bawah upah minimum regional (UMR).

Bukti masih rendahnya upah pekerja disana diperkuat dengan data penelitian Universitas Gajah Mada (UGM), pada tahun 2006 lalu. Data tersebut diberikan tim baksos yang menunggu di desa Cawang, daerah Bandealit. Mereka menyatakan penghasilan perkapita pertahun masyarakat desa disana hanya berkisar Rp 803.528,- atau sekitar Rp 67.000,- perbulannya. Hal itu yang sepertinya membuat 5.497 jiwa yang hidup di sana, hanya memiliki lima orang yang berhasil menyelesaikan pendidikan hingga bangku universitas. Tampaknya rendahnya kualitas pendidikan di desa seluas 263,8 km2 ini, dipicu oleh minimnya pendapatan perkapita masyarakat desa tersebut.

Desa Cawang bisa ditempuh hanya satu jam dari Sumbergadung. Disana sudah menunggu tim bakti sosial Mapala UI dan Bank Mandiri. Kali ini mereka berniat menggelontorkan bantuan senilai Rp 34.929.000,- untuk penyelenggaraan perbaikan perpustakaan sekolah, donasi peralatan sekolah, penyuluhan dan periksa gigi gratis, serta lomba cinta lingkungan. Rangkaian bakti sosial ini diawali dengan perbaikan perpustakaan SDN 03 Andongrejo yang meliputi pemberian 609 buku untuk perpustakaan, tata ulang dan perbaikan sistem perpustakaan. Pada kesempatan tersebut juga diserahkan 100 paket peralatan sekolah bagi siswa SD dan SMP yang berprestasi.

Minim Transportasi

Di dalam truk, berdiri puluhan orang, dengan maksimal empat ekor sapi ikut serta. Pak Wardi, yang bersama saya duduk di bagian atas atap sopir truk, banyak menceritakan pengalamannya. Sama seperti Pak Har, Pak Wardi juga merasa dibohongi ketika akhirnya memutuskan tinggal di kawasan afdeling tersebut sebagai pekerja kebun.

“Tidak seperti janji-janji dahulu. Untuk menyekolahkan anak, sekarang kami harus menjual sapi milik kami,” kata Pak Wardi sambil menunjuk sapinya, yang berwarna coklat di truk sebelah.

Karena bertepatan dengan pemilihan presiden, yang akan dilaksanakan tiga hari kedepan. Pak Wardi kemudian mengangankan sekolah gratis yang dijanjikan pemerintah. “Mungkin semuanya akan menjadi lebih enak, bila sekolah anak-anak kami bisa benar-benar gratis. Paling tidak ada warisan yang bisa diandalkan mereka,” ucapnya pelan.

Sementara roda truk terus bergoncang turun naik. Menyusuri jalan batu tak rata, meninggalkan desa Cawang menuju Ambulu. Tak banyak cakap bisa dilakukan. Selain kembali menelan kopi pahit cerita penduduk di pinggir daerah konservasi. Tertinggal dan tak banyak dihiraukan. (Sulung Prasetyo)

2 COMMENTS

LEAVE A RESPONSE

Your email address will not be published. Required fields are marked *