MENJAJAL RUTE SEJATI GUNUNG RAUNG

Views: 4

“Sesungguhnya masih ada puncak yang lebih tinggi lagi, namun kita tidak dapat mendaki ke sana, sebab selain tidak ada jalan juga hutannya masih terlalu lebat,” tulis Joko Glemboh, mengenai pucuk sejati gunung Raung dalam bukunya yang bertajuk gunung-gunung di Jawa.

Puncak sejati gunung Raung memang seperti terlewati dalam sejarah. Bahkan para pendaki dari era 60-90an seperti tak pernah mengendus mengenai misteri ini. Kebanyakan menganggap, jalur yang sudah ada melalui sisi utara merupakan jalan satu-satunya menuju area puncak. Padahal jalur tersebut hanya hanya mengantar melihat kawahnya saja. Namun secara ukuran ketinggian sesungguhnya, puncak gunung Raung sejati masih harus melipiri lagi, lebih dari seperempat bagian kawah berdiameter dua kilometer yang dimilikinya.

Eksplorasi selanjutnya digunung ini kebanyakan berfokus menuruni kawah sedalam 500 meter-nya. Sementara pucuk sejati, yang ada sepertinya sudah dianggap tuntas dengan berada di bibir kawah saja.

Tetapi, para pendaki era 2000-an sepertinya tak sependapat dengan hal tersebut. Awal dekade 21, akhirnya dimulai jalur rintisan menuju puncak sejatinya. Tim dari Pataga – Universitas Tujuh Belas Agustus Surabaya, yang kemudian pertama selesai menuntaskannya di tahun 2001. Dengan melalui sisi selatan, yang berawal dari kota Kalibaru. Mereka berhasil menuntaskan jalur sejauh 17,6 kilometer menuju pucuk sejatinya, yang menurut catatan mereka berketinggian 3328 meter di atas permukaan laut (mdpl).

Tahun 2003 tim dari Mapala UI, sukses juga menuntaskan jalur selatan gunung Raung menuju puncak sejati, namun dari kota yang berbeda (SH/06/08/2003). Pada kesempatan tersebut tim Mapala UI, menuntaskan melalui jalur kota Glenmore, di arah lebih ke timur dari punggungan utama jalur Kalibaru.

Nah, ke puncak sejati itu tujuan perjalanan ini sekarang. Melewati sisi selatan jalur rintisan tim Pataga. Jalur ini diperkirakan memiliki tingkat kesulitan pendakian lebih sukar dilewati, karena memiliki karakter langsung tembus menuju puncak. Bagi tim Mapala UI, sebenarnya perjalanan ini merupakan proses pemecahan rekor tersendiri. Karena apabila bisa menuntaskan jalur tersebut. Berarti tim ini menjadi tim yang pertama menorehkan sejarah, sebagai tim yang mampu menuju puncak sejati Raung melewati dua jalur rintisan berbeda.

Kondisi punggungan tipis banyak ditemui di hampir keseluruhan perjalanan. Serupa dengan tampilan fana, peta topografi keluaran US Army Map Service 1964, sheet Singodjuruh dan Krepekan yang dibawa.

Bahkan hingga hari ke lima pendakian, daerah hutan lebat masih terasa auranya. Meskipun jalur memang terlihat agak jelas, namun beberapa kali kali harus mengeluarkan golok, untuk menebas duri-duri rotan yang menghadang hingga ketinggian 1800 mdpl. Beberapa teman perjalanan harus meringis nyeri terkena duri-durinya. Bahkan Nurmulia Rekso, salah seorang anggota termuda dalam perjalanan ini, mengaku kapok memakai celana pendek untuk pendakian seperti ini.

Setelah ketinggian tersebut pohon-pohon cemara tinggi mulai menghias. Lengkap dengan kabut tipis menaungi, jadilah perjalanan di ketinggian tersebut bak berada di antara awan. Semua samar, dengan kelebat-kelebat tipis hitam pohon menjulang ke angkasa. Udara mendingin, memaksa seluruh anggota tim membuka jaket, tiap berhenti untuk orientasi peta.

Di hari ketiga pendakian, seorang teman perjalanan bernama Bagus Ahmad Santoso, harus menggeletak dan mengeluh panjang semalaman. Menurut Bambang Melesom, salah satu anggota tim yang pernah menjajal jalur Glenmore, hal ihwal tiba-tibanya muncul penyakit Bagus diperkirakan karena banyaknya ‘penghuni’ gunung Raung yang tak suka dengan tingkah polahnya. “Terlalu berat beban sosial yang dibawa,” kata Melesom, sambil menggerak-gerakan tangannya di punggung Bagus, seperti menarik sesuatu yang hampa di atasnya.

Baru menjelang tengah hari ke lima batas vegetasi mulai menyeruak. Memberi batas batuan pasir dengan hijau alang-alang dan pohon cantigi. Melesom dan Sri Yuniardhani, satu-satunya wanita dalam tim ini, terpaksa harus kami tinggalkan saat menuju wilayah batas vegetasi. Tugas mereka menjaga advanced basecamp, dan menjadi tim pemberi kabar bila tindakan penyelamatan diperlukan.

Sekarang tujuh orang anggota tim, menuju puncak selatan yang kokoh tertancap bendera merah putih diatasnya. Jamaludin, teman dari Fakultas Kesehatan Masyarakat UI, dan saya menjadi dua orang pertama yang mencapai puncak selatan tersebut. Disusul teman lainnya hingga setengah jam berikutnya.

Namun jalur tak berhenti di situ saja. Ternyata bila ingin menuju puncak sejati, halangan igir-igir tipis menghadang. Jamal dan Bagus, yang mulai pulih kondisinya ditugaskan sebagai dua orang pertama yang mencoba igir-igir tersebut. Melihat tampakan igir-igir ini, saya teringat foto-foto dari tim Highcamp, yang juga mencapai titik ini satu tahun yang lalu. Sayangnya tim mereka memutuskan tak menyelesaikan jalur pendakian, karena sulitnya medan yang harus ditempuh.

Dengan sistem moving together, dimana dua orang saling dikatkan pada satu tali, Jamal dan Bagus mulai melipiri igir tersebut. Di susul, tim berikutnya yang berawak Nurmulia Rekso, BDK Seto Wardhana dan saya. Tim terakhir yang beranggota Dadang Sukandar dan Hendra Fachri, baru tuntas menyelesaikan igir pertama hingga satu jam setelah puncak selatan.

Kengerian tak berakhir sampai disitu. Kembali jurang dalam menghadang, disamping kanan pucuk puncak tujuh belas, bukit kedua yang harus dilewati. Sulit menebak kedalaman jurang tersebut, karena terus-terusan tertutup kabut. Namun mungkin tak jauh berbeda dengan jurang di igir-igir pertama yang diperkirakan sedalam hingga satu kilometer jauhnya.

Kali ini kami harus melipiri sisi kanan puncak tujuh belas. Memanjat tebing setinggi tiga meter, dan menjumpai kembali longsoran batu menuju pucuk bukit ketiga. Di bukit ketiga ini, jalur terpecah dua. Satu menuju puncak bukit, yang lainnya kembali melipiri sisi kanan bukit. Keputusan Jamal, melipiri sisi kanan bukit tampaknya tidak bisa dikatakan baik. Karena jalur yang diambil memiliki sistem batuan yang mudah lepas. Dengan tehnik scrambling (merambat) tradisional, dengan bertumpu pada dua kaki, dan mendekatkan badan pada tebing. Barulah kasus penuntasan jalur ini bisa terlewati.

Di puncak bukit ketiga, kembali pandangan mata dibuat terperangah. Jamal, membisikan kata-kata mustahil untuk melewati jalur di depan kami kali ini. Sebuah igir tipis memanjang sejauh 600 meter, tampak menghadang culas dengan jurang tak terukur dalamnya di kiri dan kanan igir.

Sementara waktu telah menunjukan menjelang pukul 12 siang. Terlalu lambat, pikir saya, bila ketujuh anggota tim kesemuanya menuju puncak. Karena titik puncak yang sebelumnya diberitahukan oleh Melesom, masih harus melewati daerah longsoran batu setinggi satu hingga satu setengah kilometer, usai igir tipis di depan kami.

Terpaksa tim di pecah dua. Lima orang bertahan dan menunggu di titik terakhir pucuk bukit ketiga. Sementara dua orang terpilih dari kami menuju puncak. Jamal dan Bagus yang akhirnya bertugas menjalankan mimpi tersebut. Selain karena keduanya memang teman yang memilih spesialisasi panjat tebing, juga berat badan mereka relatif sama, hingga resiko terbawa oleh teman yang lain bila harus terjatuh makin kecil potensinya.

Suara angin terdengar menderu-deru di kejauhan. Mirip-mirip suara pesawat terbang yang terbang rendah di kepala kita. Suara itu sekilas mirip raungan. Mungkin itu juga mengapa gunung ini kemudian dinamakan Raung.

Raungan itu yang terdengar bersahutan kala Bagus dan Jamal memulai perjalanan kembali. Jamal terlihat agak takut-takut saat melipiri punggungan tipis tersebut. Terlihat ia berjalan jongkok, karena tak yakin pada keseimbangannya. Bahkan kadang ia harus berjalan dengan pantatnya, sekedar untuk meredam rasa ngeri pada jurang yang kini menganga di kanan dan kirinya.

Ujung igir akhirnya ditempuh menjelang satu jam lebih. Di ujung igir telihat jalur kembali membuat patah semangat. Terdapat paling tidak tebing sedalam 12 meter menusuk ke bumi. Karena tak mengantisipasi membawa tali lebih, terpaksa tali webbing yang mereka bawa, ditautkan satu persatu hingga empat buah banyaknya. Dengan tali itu mereka menuruni tebing. ”Sebenarnya webbing itu hanya untuk sugesti saja,” papar Bagus menceritakan kemudian.

Paska menuruni tebing, longsoran batu yang terlihat dari bukit ketiga terasa muskil dilalui terlihat dilewati Jamal dengan lincahnya. Dari Walkie Talkie yang menjadi sarana komunikasi kami, dijelaskan kalau longsoran batu itu ternyata bersifat masif, alias tak mudah runtuh bila kita menginjaknya. Dengan bantuan kapak es yang mereka bawa, tampaknya mudah saja kedua kawan kami itu melewatinya.

Bak kijang gunung, Jamal melompati satu persatu batuan longsor. Terus menuju puncak tebing terakhir, menuju deretan pucuk tebing yang berupa pinacle-pinacle tajam. Sebelum jam dua siang menjelang, hari Jumat (19/1/2007) terdengar suara khas teriakan Mapala menggema. Kontan kami, yang menunggu harap-harap cemas di bukit terakhir menoleh penuh harap. Kontak radio disambungkan. Kemudian terdengar teriakan Bagus, ”Puncak…Kami telah tiba di puncak. Ada plang Pataga dengan ketinggian 3328 mdpl,” teriaknya terdengar senang. (Sulung Prasetyo)

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours