Views: 222
Buat orang Dayak, memiliki tatto pada tubuh bisa memiliki banyak arti. Budaya rajah tubuh itu, kadang mewakili tera pengakuan paska melakukan perjalanan panjang. Bisa juga berarti datangnya mulai masa haid. Sementara para pengayau, memiliki rajah sebagai bukti telah memenggal kepala.
Pada orang Dayak Iban di pinggir sungai Utik, Kalimantan Barat, Bandi atau kerap dipanggil Pak Janggut menjadi contoh hidup budaya tatto tersebut. Ketika ditemui, pada suatu waktu, lelaki Tetua adat rumah Panjai (panjang) ini menyatakan tatto merupakan bukti telah melakukan perjalanan panjang. Bajalai namanya, yang merupakan budaya asli Dayak pada anak-anak muda menjelang dewasa, sebagai tanda peralihan menuju dunia bermotif ekonomi. Biasanya anak-anak muda Iban bisa merantau kemana saja. Kebanyakan ke wilayah Malaysia atau Brunei. Pak Janggut, memiliki tatto bunga terung di sekujur tubuhnya. Memiliki juga tatto di leher, yang menurut beberapa referensi bernama ukir degug.
“Semua tatto ini penanda pernah melakukan perjalanan jauh,” urai Pak Janggut. Ia sendiri mengaku pernah merantau hingga ke Brunei Darussalam.

(dok. sulung prasetyo)
Beberapa penduduk Utik pemilik tatto yang lain, mengaku pernah ke Malaysia atau Brunei, selain juga Jakarta. Hanya sayangnya tak ditemukan pemilik tatto pada kalangan wanita, dan jenis tatto bintik-bintik di jari tangan sebagai bukti pemenggal kepala.
Para pemilik tatto itu sendiri makin ke kelompok muda, makin menunjukan asumsi ditinggalkan. Terlihat memang tatto masih dimiliki, namun cenderung semakin sedikit atau motifnya makin modern.
Peralihan tersebut mungkin berhubungan dengan jam terbang, ataupun motif ekonomi yang mulai berbeda. Kedua alasan tersebut sebenarnya juga tersangkut paut. Karena pada alasan motif ekonomi, mengakibatkan makin kurangnya jam terbang para pemuda untuk merantau.

Niat Merantau Menurun
Niat merantau memang makin menunjukan gejala menurun pada pemuda di dusun Sei Utik ini. Beberapa pemuda memang bilang pernah bekerja di Malaysia, tapi sekarang lebih memilih hidup di kampung itu saja. Karena bila dihitung-hitung, ongkos resiko hidup di negari tetangga itu sebenarnya tak terlalu menguntungkan juga. Bayangkan saja, bila di Malaysia selain mereka harus mengeluarkan ongkos hidup tinggi, juga terkena perasaan dikejar-kejar oleh Dinas imigrasi. Akhirnya semua uang yang didapat, juga terhitung impas dengan pengeluaran yang ada.
Sekarang bila mereka mau mengurus hutan karet Sei Utik yang luas. Sejumlah uang bisa dengan mudah mereka dapatkan. Tak sebesar dengan pendapatan di Malaysia memang. Namun untuk dapat hidup layak, dan selaras dengan alam, pemasukan sejumlah yang ada sekarang memiliki nilai lebih sebenarnya. Karena, selain bisa membantu kampung mereka, juga masih banyak pemasukan lain dari sistem pengelolaan hutan adat yang dijalankan secara tegas turun temurun hingga sekarang.
Jadi selain berhubungan dengan sisi psikologis, yang mulai disadari beberapa orang tua disana. Mengenai stigma buruk pada tatto, yang membuat mereka melarang anak-anak mereka bertatto. Masalah makin menurunnya minat perantauan, karena makin tak menjanjikannya hidup di negara tetangga, dapat juga dijadikan indikator makin ditinggalkannya tatto di suku Dayak. (Sulung Prasetyo)
+ There are no comments
Add yours