Ekspedisi Arung Jeram Batang Langkup – Kado Kemerdekaan yang Tertunda

Views: 0

Rabu, 17 Agustus 2005. Dinginnya air menumbuhkan perasaan malas untuk memulai pengarungan. Seharusnya hari ini menjadi hari yang paling kami tunggu. Tapi entah mengapa di hari pertama pengarungan ini, rasanya seperti tak biasa.

Kepala Desa Pulau Tengah tak bisa mengantarkan kami hari ini karena harus mengikuti upacara kemerdekaan di kecamatan. Namun beberapa penduduk desa tampak antusias memperhatikan kami. Mungkin mereka bertanya untuk apa kami bersusah-susah seperti ini?

Dengan perasaan gundah karena rusaknya satu perahu, akhirnya tim tetap memutuskan turun dengan dua perahu. Yaitu satu perahu merk Avon dengan warna abu-abu, serta satu perahu buatan dalam negeri, Boogie yang berwarna-warni mentereng. Karena warnanya inilah, maka perahu berkapasitas enam orang ini dinamakan Nano-nano.

Siaplah kami sekarang pergi. Lengkap dengan tas-tas terikat di tengah perahu. Persiapan makan sudah dilebihkan dua hari. Jadi kalau ada kejadian sehingga ekspedisi melebihi tenggat waktu tiga hari, bisa diantisipasi. Persiapan menginap juga tampaknya telah terpenuhi. Flysheet, lengkap dengan matras, ponco, sleeping bag, pakaian pribadi dan perabot memasak. Anggota tim berjumlah 11 orang.

Pasca semua persiapan pengarungan, dayung dikayuh dan perahu mulai menari mengikuti arus menuju hilir. Hari ini, tepat di hari kemerdekaan Republik Indonesia ke-60, jeram-jeram Batang Langkup untuk pertama kalinya dicumbui oleh para pengarungnya.

Jeram Gluguh

Pengarungan dibuka dengan beberapa jeram berarus tenang di Sungai Mantenang. Sungai ini menjadi jalur pengantar kami menuju Batang Langkup. Kondisi arusnya yang tenang membuatnya terkategori dalam bagian sungai berkelas dua.

Meskipun terlihat menawan, sebenarnya sungai ini menyimpan rentetan jeram liar. Penduduk setempat menamakan daerah tersebut Gluguh, karena banyaknya batuan besar berserakan di dalamnya. Menghasilkan beberapa kucuran derasnya air di antara bebatuan, menyimpan ceruk-ceruk perangkap di dalamnya.

Di bagian jeram besar yang bernama Gluguh, menurut Marchelie Briggitta, anggota tim yang memetakan bagian tersebut, dibuka dengan gate-gate sempit berkelok. Dilanjutkan dengan drop (patahan sungai) sekitar setengah meter, tampak terlihat ganas di pertengahan seri jeram ini. Ditutup dengan derasnya air yang menumbuk bebatuan besar. Saat memperhatikan bagian terakhir batu yang tertabrak air, terlihat sebuah lubang menganga di bawahnya. Siap menelan siapa saja yang terjatuh dan terseret ke dalamnya. Di bagian ini kedua tim perahu memutuskan memakai sistem lining untuk menyelamatkan perahu.

Perahu Boogie mendapat kesempatan pertama melewati jeram ini. Dengan gagah, perahu meliuk mengikuti derasnya aliran air. Sayangnya, rencana yang dibuat kurang berhasil. Perahu berbahan PVC ini menghantam batu besar yang berada tepat di sebelah kanan patahan terakhir jeram Gluguh.

Oktora Hartanto, skipper (kapten kapal) perahu ini, langsung sigap mengambil manuver karena perahu masuk mundur. Dengan satu tarikan kuat, perahu berhasil diselamatkan keluar dari arus balik yang mungkin bisa menjungkalkan seluruh awak perahu. Meskipun agak terhambat di penutupan jeram, akhirnya perahu berbadan keras ini lolos juga melanjutkan perjalanan.

Kado Kukup

Air terjun Mantelun, yang menjadi titik start pengarungan kami hari kedua, tampak bersahabat. Mungkin lantaran penerimaan dua orang peladang yang merelakan gubuknya kami tinggali semalam. Hujan yang tertinggal semalam meninggalkan lembab.

Tepat seperti cerita tim pemetaan di section ini. Jalur dari air terjun Mentalun hingga tepian anak Sungai Penjaringan, cenderung datar. Karena minimnya penurunan, maka hanya sedikit daerah yang bergolak. Hanya rumitnya, beberapa strainer berupa pohon tumbang mengadang.

Tepat di daerah bernama Kukup, yang menyerupai tenggorokan, seluruh anggota tim berhenti. Tebing berdiri kukuh di sisi kiri dan kanannya. Karena tebing menyempit, daerah ini menjadi area blank spot, sebuah tempat yang sulit dipetakan.

“Di jeram ini kami seperti membuka bungkusan kado saja, selalu tak terduga”, begitu kata Peni Widyaningsih, kapten kapal perahu Avon saat mengintip setiap belokan sungai.

Strainer di jeram ini tampak sulit tertembus. Di bagian arus besarnya terlihat sebuah pohon menjuntai layu. Bagian-bagian dahan yang masih hijau turun menutupi sebagian besar arus. Tampak sulit melewatinya.

Tapi celakanya, satu perahu yaitu Avon terlanjur masuk di ujungnya. Tak ada jalan lain, selain menyelinap di sela-sela bawahnya. Satu perahu lain memutuskan mengambil jalur lain yang terletak di kiri sungai. Arus memang terlihat menyempit di sana. Tapi itu lebih memungkinkan perahu untuk diangkat.

Lolos di jeram ini, suasana makin terasa samar. Hujan juga terus mendera. Menjelang jam 17.00, tim memutuskan berhenti. Setelah sebelumnya sempat bertukar anggota tim, antara Ilham dan Hendra Fachri. Ilham meneruskan perjalanan keluar dari daerah tersebut, dengan membawa informasi kepada tim basecamp mengenai keadaan kami terakhir.

Menonton Perahu Karet

Jumat 19 Agustus, perjalanan pengarungan dimulai lagi. Pagi ini terasa dingin sekali. Mungkin karena tingginya lembah di sekitar kami. Kehangatan baru menyapa ketika matahari menerobos melewati tiap pucuk daun. Di daerah ini secara mental kami siapkan untuk kejadian paling buruk.

Meskipun merupakan section terakhir sebelum berakhirnya ekspedisi, daerah ini menurut tim pemetaan merupakan daerah paling berat yang harus dilewati. Menjelang siang, sebagian besar jalur sudah terlahap. Tampaknya Desa Rantau Kermas merupakan surga buat kami. Dan benar saja tepat menjelang jam 11.00, seluruh anggota tim telah mencapai persawahan terakhir batas Desa Rantau Kermas. Di daerah ini pengarungan sempat dihentikan, dan menjelang pukul 14.00 bergerak lagi menuju tujuan akhir.

Sesampainya di jembatan pertama Rantau Kermas, terlihat sambutan warga yang penuh keheranan. Mereka senyum ramah menikmati tontonan baru seperti ini. Menonton perahu karet yang biasa disebut biduk oleh orang daerah sekitar. Lengkap dengan bendera Merah Putih terkibar, menandakan kado untuk negeri ini yang mungkin agak telat diberikan, namun terasa lebih bermakna ketimbang tanpa apa-apa. (dyah kartika sari/marchelie brigitta)

More From Author

+ There are no comments

Add yours