Views: 3
Rasanya belum lengkap menjelajah bagian tengah pulau Jawa, bila tak mengunjungi daerah gunung Lawu. Gunung yang berada di antara provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur ini, ternyata menyimpan banyak cerita didalamnya. Mulai dari candi-candi, air terjun tempat bertapa, kebiasaan memakan sate kelinci, kawah belerang, hingga kuburan raja Majapahit dipuncak Lawu.
Dengan perhitungan yang cermat, ternyata hampir keseluruhan lokasi menarik di area gunung Lawu tersebut, bisa ditempuh hanya dalam waktu dua hari satu malam saja. Seperti perjalanan yang pernah dilakukan penulis, beberapa waktu lalu.
Candi Kuno
Awal perjalanan dimulai dari kota Solo, Jawa Tengah pada pagi hari. Dari kota Solo, ke arah Tawangmangu, kemudian menuju Sarangan. Perjalanan menuju Sarangan dari Solo, akan melewati beberapa lokasi peninggalan kerajaan Majapahit.
Lokasi pertama yang menarik untuk dikunjungi merupakan kompleks candi Cetho dan Sukuh. Kompleks candi tersebut berada di kiri jalan sebelum terminal Tawangmangu. Jalan menuju candi-candi tersebut terlihat mudah, karena terdapat gapura besar dibagian kiri jalan. Setelah melewati gapura, jalan akan terpecah dua lagi, menuju ke masing-masing candi.
Candi Cetho dan Sukuh berada di lereng utara, gunung Lawu. Merupakan peninggalan terakhir yang dibangun oleh raja Majapahit terakhir, Brawijaya V. Kompleks candi kebanyakan berisi bangunan-bangunan untuk bersembahyang, dengan bentuk punden. Banyak hal unik dikompleks candi tersebut. Termasuk ukiran-ukiran di dinding candi. Salah satu ukiran yang menarik merupakan gambar tentara, yang berada di candi Sukuh. Dalam ukiran tersebut terlihat pakaian perang yang digunakan tentara mirip dengan yang dimiliki bangsa Arya, pembuat piramida di pegunungan Inca.
Perjalanan bisa dilanjutkan dengan keluar dulu dari kompleks candi, dan kembali menuju jalan menuju Tawangmangu. Di dekat terminal Tawangmangu, terdapat air terjun Grojogan Sewu yang sudah kondang namanya. Dengan tinggi mencapai 81 meter, air terjun ini termasuk salah satu yang tertinggi di pulau Jawa. Bisa juga menuju puncak air terjun dengan meniti tangga didekatnya. Tapi lebih menarik berendam sebentar di telaga bawah air terjun.
Usai berendam, biasanya perut lapar memanggil. Tak perlu repot-repot mencari makanan, disekitar air terjun Grojogan Sewu terdapat banyak tempat makan, yang menawarkan sate kelinci. Menurut beberapa sumber, kebiasaan memakan sate kelinci ini juga merupakan peninggalan orang-orang Majapahit. Kalau dulu, mungkin hanya raja yang bisa sering makan sate kelinci, sekarang siapa saja bisa makan sate tersebut, asal punya uang cukup.
Setelah kenyang, banyak lagi yang bisa dilihat bila melanjutkan perjalanan ke Sarangan. Salah satunya melihat koleksi tanaman obat di Balai Penelitian Tanaman Obat (BPTO). Bangunan BPTO berada di bagian sebelah kanan jalan, sebelum pos pendakian Cemoro Kandang. Di dalam BPTO terdapat banyak koleksi tanaman obat, yang diwariskan dari jaman kerajaan Majapahit dulu. Ramuan dan resep untuk berbagai penyakit juga bisa didapatkan, melalui campuran tanaman obat tersebut.
Bila perjalanan diteruskan, maka akan menemui daerah Poncolono. Di sini dapat juga merasakan mandi dengan air belerang. Selain itu dapat juga melihat pemandangan lepas ke arah Jawa Timur. Pemandangan dari Poncolono akan makin indah pada saat sore hari. Pemandangan akan terlihat luas dengan variasi pandangan antara hutan dan kota-kota kecil, dengan liukan jalan.
Sebelum malam makin gelap, sebaiknya kembali menuju kota Tawangmangu. Banyak terdapat penginapan dikota tersebut. Harga yang ditawarkan bervariasi pula. Namun dengan pelayanan yang tidak mengecewakan. Paling tidak bisa beristirahat dengan lebih nyaman, sebelum mendaki ke puncak gunung Lawu, pada hari berikutnya.
Mendaki Lawu
Peninggalan Majapahit tak hanya air terjun, makan sate kelinci, dan tanaman obat. Berjalan menuju puncak gunung Lawu, juga harus dilakukan. Mengingat lokasi moksa raja terakhir Majapahit, Brawijaya V, berada tak jauh dari puncak Lawu.
Setelah melewati dua buah jalan lembah memutar, akan ditemui pos bayangan. Dari pos 2 ke pos bayangan, bisa ditempuh hanya dalam waktu 30 menit. Jalur kemudian mulai menanjak dari pos bayangan menuju pos 3, atau sering disebut Penggik. Jalur menuju Penggik ini diperkirakan menjadi yang terjauh, karena bisa menempuh waktu sampai 90 menit. Namun keindahan gunung Lawu mulai terlihat dijalur menuju pos 3 tersebut, karena hutan mulai terbuka dan menyajikan panorama pegunungan disekitar Lawu.
Menuju pos 4, perjalanan makin terasa berat karena mendaki, dan kebanyakan berisi tanah bebatuan keras. Namun bila sudah mencapai pos 4, rasa lelah seketika hilang. Pos 4 atau dikenal sebagai Cokro Suryo merupakan tanah datar yang berada diantara beberapa puncakan bukit. Kebanyakan alas tanah dipenuhi rumput, sehingga terasa sejuk bila sebentar berbaring diatasnya. Diantara rumput-rumput itu juga tersisa sebuah tempat persembahan, yang hingga kini masih dipergunakan oleh orang-orang yang khusus datang untuk melakukan ritual.
Dari Cokro Suryo, perjalanan dilanjutkan dengan membelah sadel punggungan bukit. Setelah sadel, puncak gunung Lawu, yang disebut Hargo Dumilah akan terlihat dikejauhan. Namun sebelum mencapai puncak harus melewati dulu jalan datar memutar menuju ke bagian belakang sisi puncak. Kemudian akan ditemukan pertigaan, yang bila diteruskan akan menuju jalur Cemoro Sewu. Bila merasa lapar dan kurang membawa makanan, bisa meneruskan dahulu ke jalur Cemoro Sewu tersebut, karena akan menemukan warung Mbok Yem. Warung tersebut selalu buka setiap waktu, dan siap menerima tamu dengan pelayanan semampunya. Bila terasa masih mampu, di pertigaan sebelum warung Mbok Yem, ambil jalur ke kanan yang menuju puncak. Setelah berjalan mendaki selama kurang lebih 30 menit maka akan ditemui tugu besar bernama Hargo Dumilah, yang juga merupakan puncak dari gunung Lawu.
Tak jauh dari warung Mbok Yem terdapat lokasi moksa, raja Brawijaya V. Disana terdapat bangunan dengan dua pilar didepannya. Biasanya di awal bulan Muharram banyak orang yang datang, untuk melakukan ritual penyembahan di lokasi moksa raja Brawijaya V, yang disebut Hargo Dalem ini.
Total pendakian ke puncak Lawu, dari Cemoro Kandang bisa ditempuh selama enam jam. Sementara waktu turun bisa empat jam, melalui jalur yang sama. Jadi hanya perlu 10 jam untuk naik dan turun di gunung Lawu. Dengan waktu tak terlalu lama seperti itu disarankan tidak terlalu banyak membawa peralatan untuk mendaki. Sediakan air dan makanan seperlunya, dan persiapkan juga sarana transportasi untuk membawa kembali ke Solo pada malam hari. (Sulung Prasetyo)