DUA WAJAH GEN Z MENANGGAPI ISU PERUBAHAN IKLIM

Views: 13

Generasi Z (Gen Z) dikenal sebagai generasi yang memiliki kesadaran tinggi terhadap isu-isu lingkungan, termasuk perubahan iklim. Namun, respons mereka terhadap permasalahan ini ternyata berbeda di berbagai negara, termasuk Indonesia. Perbandingan antara Gen Z di Jakarta dengan di negara-negara maju mengungkapkan perbedaan mendasar dalam pemahaman, kepedulian, dan keterlibatan mereka dalam kebijakan lingkungan.

Hal itu terlihat dari dua informasi yang muncul di pertengahan Februari 2025 ini. Yang pertama mengenai hasil penelitian YouGov, yang memaparkan tentang kepedulian Gen Z terhadap isu perubahan iklim. Hal tersebut dibahas dalam artikel “Gen Z Khawatirkan Dampak Lingkungan dari Liburan” di Lingkar Bumi. Dalam artikel tersebut menyoroti bagaimana Gen Z di berbagai negara menunjukkan kepedulian tinggi terhadap dampak lingkungan dari aktivitas wisata. Survei YouGov menemukan bahwa hampir setengah dari Gen Z di luar negeri menyadari dampak perjalanan mereka terhadap lingkungan dan masyarakat lokal. Sebagian bahkan mulai mengurangi penggunaan pesawat karena alasan emisi karbon.

Sebaliknya, di Jakarta, kesadaran Gen Z terhadap perubahan iklim masih memiliki celah dalam pemahaman yang lebih mendalam. Seperti hasil penelitian terbaru dari Climate Ranger Jakarta yang melibatkan 382 responden. Menurut penelitian tersebut meskipun hampir semua responden telah mendengar istilah perubahan iklim, masih ada 37,7% yang percaya bahwa perubahan iklim hanya disebabkan oleh siklus alam. Ini menunjukkan bahwa meskipun kesadaran mereka tinggi, pemahaman ilmiah tentang penyebab utama perubahan iklim—terutama yang terkait dengan aktivitas manusia—masih perlu ditingkatkan.

Kepedulian vs. Aksi Nyata

Salah satu perbedaan signifikan adalah bagaimana kepedulian terhadap perubahan iklim diterjemahkan ke dalam tindakan nyata. Di luar negeri, Generasi Z cenderung lebih proaktif dalam menyesuaikan gaya hidup mereka agar lebih ramah lingkungan. Mereka lebih banyak memilih transportasi berkelanjutan, mendukung merek yang memiliki kebijakan keberlanjutan, dan bahkan terlibat dalam gerakan aktivisme lingkungan.

Di sisi lain, Generasi Z di Jakarta meskipun memiliki kepedulian yang tinggi, merasa bahwa keterlibatan mereka dalam isu iklim masih bersifat “tokenisme” atau sekadar simbolis. Sebanyak 62,4% responden dalam penelitian Climate Ranger, merasa bahwa mereka hanya dijadikan alat kampanye tanpa memiliki pengaruh nyata dalam pengambilan keputusan.

“50 persen lebih masih bersifat tokenisme”, ujar Dwi Tamara, Kepala Divisi Riset Climate Ranger, pada acara diskusi yang diadakan Mongabay Indonesia melalui Instagram, Kamis, 20 Februari 2025.

Hal ini menunjukkan bahwa meskipun ada dorongan untuk terlibat, masih ada hambatan struktural yang menghalangi aksi nyata mereka dalam skala yang lebih besar.

Menurutnya pelibatan generasi muda harus lebih ditingkatkan dalam kebijakan dan implementasi. Sebab generasi muda saat ini yang sebenarnya paling akan lebih merasakan dampak perubahan iklim lebih berat dimasa depan.

“Sebab kalau tak dilibatkan bisa jadi generasi muda akan masa bodoh”, tutur Dwi lagi.

Lebih jauh menurut Dwi generasi Z ingin aksi iklim yang memiliki nilai pengabdian masyarakat, seperti menanam pohon atau mangrove. Selain itu diharapkan juga program tersebut harus aksesible, ekonomis, tidak menyulitkan dan harus ada sertifikat sebagai portofolio.

Salah satu dampak dari perubahan iklim merupakan perubahan musim. Bagi pertanian, musim yang tak dapat diduga mengacaukan masa tanam dan membawa dampak pada hasil panen. (photo: dok.pexels/setengah lima sore)

Faktor Penyebab Perbedaan Respons

Kalau mengamati perbedaan ini sebenarnya cukup menarik juga. Permasalahan ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor utama. Yang pertama merupakan pendidikan dan akses informasi

Di negara-negara maju, pendidikan lingkungan sering kali menjadi bagian integral dalam kurikulum sekolah. Ini membuat Generasi Z di sana lebih memahami perubahan iklim secara ilmiah dan memiliki keterampilan untuk mengambil tindakan yang lebih efektif. Sebaliknya, di Indonesia, meskipun ada peningkatan kesadaran, kurikulum lingkungan masih belum cukup kuat untuk memberikan pemahaman yang mendalam.

Kemungkinan kedua dari perbedaan persepsi tersebut merupakan faktor budaya dan norma sosial.

Di beberapa negara, aktivisme lingkungan lebih diterima secara sosial dan bahkan didukung oleh pemerintah dan perusahaan. Sebaliknya, di Indonesia, meskipun ada komunitas yang aktif dalam isu lingkungan, aksi individu sering kali terbentur dengan norma sosial yang masih mementingkan konsumsi dan gaya hidup yang kurang berkelanjutan.

Sementara penyebab ketiga disinyalir merupakan faktor dukungan kebijakan.

Pemerintah di negara-negara maju sering kali memberikan dukungan lebih besar terhadap kebijakan ramah lingkungan, seperti insentif untuk energi terbarukan, regulasi ketat terhadap emisi, dan kebijakan yang mendukung transportasi publik. Di Indonesia, meskipun ada beberapa inisiatif keberlanjutan, implementasi kebijakan masih menghadapi tantangan, termasuk lemahnya penegakan regulasi dan kepentingan ekonomi yang lebih dominan.

Masa Depan Gerakan Lingkungan di Indonesia

Meskipun Generasi Z di Jakarta masih menghadapi tantangan dalam menerjemahkan kepedulian mereka menjadi aksi nyata, ada peluang besar untuk perubahan di masa depan. Dengan meningkatnya akses informasi melalui media sosial dan semakin banyaknya gerakan lingkungan berbasis komunitas, kesadaran dan pemahaman mereka dapat berkembang lebih jauh.

Selain itu, keterlibatan lebih besar dari pemerintah dan sektor swasta dalam mendukung gerakan lingkungan dapat membantu Generasi Z Indonesia berperan lebih aktif dalam perubahan kebijakan. Dengan kolaborasi yang lebih erat antara pemerintah, komunitas, dan individu, diharapkan aksi lingkungan yang lebih nyata dapat terjadi di Indonesia. (Sulung Prasetyo)

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours