Views: 9
Tepat di bawah ombak yang memantul cahaya matahari tropis, sekitar 5.000 meter dari pesisir Solomon Islands, kapal tanker tua dari Perang Dunia II tidur dalam keheningan. Namanya USS Neosho, dulunya pengangkut bahan bakar untuk kapal-kapal perang Amerika. Kini, ia tinggal lambung karatan yang mengandung puluhan ribu liter minyak berat, menyimpan ancaman bagi laut dan segala kehidupan di dalamnya.
Selama 80 tahun lebih, bangkai-bangkai kapal semacam Neosho menjadi reruntuhan perang yang tak pernah benar-benar selesai. Mereka menyebar di kawasan Pasifik Selatan, di lepas pantai Papua Nugini, Kepulauan Marshall, dan Mikronesia. Ratusan bahkan ribuan. Semuanya seperti bom waktu yang perlahan bocor: minyak hitam yang menetes tak terlihat, logam berat dari amunisi, bahkan senyawa kimia yang dulunya diciptakan untuk membunuh manusia, kini menghantui terumbu karang dan ikan-ikan kecil yang tak tahu apa-apa.

Ancaman Tersembunyi
Dalam laporan terbaru IUCN (International Union for Conservation of Nature) disebutkan ada lebih dari 8.500 bangkai kapal yang tergolong “potentially polluting wrecks” (PPW). Dari semua itu, lebih dari separuh berada di Pasifik. Laut yang dulu menjadi panggung perang kini menjadi korban kedua, terlambat disadari dan nyaris dilupakan.
Menurut laporan (IUCN), kapal-kapal ini bisa mengandung hingga 22,7 miliar liter minyak—jumlah yang jauh melebihi bencana Deepwater Horizon tahun 2010. Jika kebocoran besar terjadi, dampaknya bisa meluluhlantakkan ekosistem laut selama puluhan tahun ke depan.
Ironisnya, kita lebih sering mengingat kapal-kapal ini sebagai peninggalan sejarah atau objek wisata selam, ketimbang melihatnya sebagai ancaman ekologi. Padahal, banyak dari mereka sudah mulai bocor, sedikit demi sedikit, dan mengubah kehidupan di sekitarnya tanpa kita sadari.

Menyelam untuk Kelestarian
Tapi tak semua orang diam. Di Newcastle, Australia, sekelompok penyelam, ilmuwan, dan teknisi dari Major Projects Foundation memutuskan untuk bertindak. Mereka bukan hanya mencari bangkai kapal, tapi mencoba menyelamatkan laut dari warisan karat ini. Mereka menyelam bukan untuk berpetualang, tapi untuk membaca masa lalu yang meneteskan racun.
“Banyak kapal yang kondisi strukturnya sudah rapuh. Jika kita tak bergerak sekarang, kita akan kehilangan kendali,” kata Dr. Matt Carter, arkeolog maritim yang memimpin ekspedisi ini.
Mereka menggunakan sonar, drone bawah laut, dan kapal riset kecil untuk memetakan lokasi bangkai, mengukur tingkat kerusakan, dan menyusun rencana dekontaminasi. Tugas itu tidak mudah. Bangkai-bangkai itu tersebar di wilayah luas, sering kali di perairan terpencil, dan berjarak puluhan meter di bawah permukaan laut. Di sana, waktu bergerak lambat, tapi korosi terus bekerja.
Sementara dunia sibuk dengan isu-isu besar—perubahan iklim, deforestasi, krisis air—ancaman ini tetap tenggelam dalam ketidakpedulian. Padahal laut adalah sistem kehidupan yang paling luas dan paling penting di planet ini. Ia menyerap karbon, menyediakan makanan, dan mengatur iklim. Jika laut rusak, kehidupan di darat pun ikut terguncang. (Sulung Prasetyo)






