Views: 14
Peran mitos sangat kuat melindungi keberlangsungan sebuah tempat keramat. Pemahaman yang berbeda mengenai mitos, kemudian membuat kelompok-kelompok baru. Uniknya kelompok yang berkuasa ternyata mampu mengubah kebijakan bahkan hingga ke urusan duniawi.
Pandangan mengenai adanya tempat keramat tak bisa lepas dari keberadaan mitos didalamnya. Dalam kajian antropologi, kata mitos diambil dari bahasa Yunani bermakna Muthos. Kata tersebut dimaksudkan sebagai cerita atau sesuatu yang dikatakan seseorang.
Sebelum diteliti secara empiris, makna mitos diyakini sebagai hal-hal yang negatif. Hingga kemudian diyakini mitos sendiri merupakan keluaran dari pemikiran manusia mengenai sesuatu hal.
Ruslani dalam bukunya mengenai Tabir Mistik Ilmu Gaib dan Perdukunan mengatakan mitos hadir sebagai hasil dari pemikiran manusia mengenai emosi keagamaan. Emosi keagamaan tersebut yang kemudian menyebabkan sebuah benda, tindakan, atau pemikiran mendapatkan nilai keramat.
Mitos itu juga yang hingga kini melingkupi beberapa lokasi keramat didaerah pegunungan di Indonesia. Di gunung Karang, mitos berbentuk aksi mandi di tujuh sumur yang berada dipuncaknya. Hingga kini masih ratusan orang datang tiap bulan ke gunung yang berada di daerah Banten tersebut.
Di gunung Arjuno, mitos hadir dalam bentuk sesembahan kepada arca Semar. Bisa juga berbentuk semedi selama berhari-hari bahkan berminggu-minggu, untuk mendapatkan penggilan atau petunjuk untuk harapan yang diinginkan.
Maka wajar bila kemudian B.Malinowski, seorang antropolog dari benua Eropa mengatakan kalau salah satu karakteristik dari mitos adalah sebagai salah satu jalan atau alternatif bagi kehidupan.

Kelompok Mitos
Salah satu lokasi berkembangnya mitos keramat, juga ada di kawasan gunung Kawi, Jawa Timur. Bukan puncak gunung yang menjadi tujuan kebanyakan orang kesana. Namun lokasi pemakaman Eyang Sujo dan Jugo, yang menurut sejarah merupakan bagian dari pasukan Pangeran Diponegoro, yang kalah berperang dengan Belanda.
Terutama Eyang Sujo meninggalkan peninggalan berupa padepokan, dan tempat tidur dengan bantal dan guling berbahan kayu kelapa. Eyang Sujo dipuja karena dimitoskan bisa terbukti memberi banyak berkah kekayaan. Terutama pada malam 12 bulan Syuro, ribuan pelayat datang untuk melakukan ritual permohonan berkah di padepokan milik Eyang Sujo tersebut.
Roibin, peneliti kajian antropologi para penziarah di gunung Kawi menjelaskan kalau ada berbagai macam alasan orang-orang datang ke lokasi keramat tersebut. Namun pada intinya mereka mencari berkah atau baraqa dalam bahasa Arab.
“Dari sekian berkah yang diharapkan oleh peziarah, satu diantara jenis berkah yang tidak pernah luput dari keinginan dan keyakinan mistisnya adalah berkah rizki yang banyak atau pesugihan,” urai Raibin, yang kini menjadi dosen di Universitas Islam Negeri (UIN) Malang.
Khusus untuk kasus di gunung Kawi, upaya untuk mencari berkah tersebut terus berubah dan berkelompok menurut kepentingan. Seperti lahirnya komunitas putihan, yang merupakan perubahan dari komunitas abangan. Komunitas putihan lahir setelah desakan proses ritual yang lebih bernuansa Islami mengemuka.
Perbedaan kemudian lahir dalam proses ritual yang dilakukan. Bila sebelumnya komunitas abangan lebih puritan dalam menjalankan laku ritual, sementara komunitas putihan menyesuaikan dengan kaidah agama Islam.
Seperti pada laku ritual sembahyangan di padepokan Eyang Sujo. Komunitas abangan melakukan ritual dengan mengelilingi makan berlawanan arah jarum jam. Sementara komunitas putihan tidak melakukan ritual tersebut, melainkan hanya melakukan shalat ghaib.
Ada satu lagi kelompok yang kini mengemuka dikalangan peziarah gunung Kawi, yaitu komunitas bisnis, yang berada tepat diantara dua komunitas dominan yang ada. Komunitas bisnis lahir lantaran latar belakang labil mengenai pemahaman mitos. Tujuan mereka sama mencari berkah, dan komunitas bisnis bisa melakukan dua ritual berbeda, selama dirasa paling menguntungkan dalam pencapaian harapan.

Merubah Mitos
Di zaman serba modern seperti sekarang ini, keberadaan tempat keramat kadang menjadi hal-hal yang harus dibuang jauh-jauh. Rasionalitas modern membuat pemikiran-pemikiran mengenai mitos menjadi dianggap usang.
Namun merujuk pada kasus di gunung Kawi terlihat adanya keuntungan dari penggunaan mitos keramat bagi kehidupan masyarakat sekitar. Kehadiran ribuan peziarah jelas menguntungkan secara ekonomi. Bahkan kegiatan kadang melebar, dari semula hanya ingin berziarah menjadi ada bakti sosial seperti sunatan masal atau balai kesehatan.
Sementara pada sisi kebijakan publik, terlihat adanya pengaruh komunitas yang lebih kuat dalam merubah sebuah kondisi. Seperti karena saat ini komunitas putihan yang lebih kuat, maka pemimpin daerah berasal dari komunitas tersebut.
Latar belakang pemimpin daerah yang berasal dari sebuah komunitas, membuat berbagai kebijakan didesak berdasarkan harapan komunitas tersebut. Di sisi lain komunitas abangan, yang lebih puritan makin terdesak karena tak ada ruang untuk mengimplikasikan pemikiran mereka, didalam ruang publik.
Namun satu hal yang lebih pasti, ada pergeseran pemikiran mengenai keberadaan mitos pada sebuah tempat keramat. Yang lebih bisa bertahan biasanya yang menyesuaikan dengan keadaan zaman. (sulung prasetyo)
+ There are no comments
Add yours