Views: 5
Pernah saya berada di gunung yang sangat indah sekali. Kalau masalah pemandangan, tak perlu diragukan lagi. Hijau dimana-mana, sungai meliuk-liuk dikejauhan, danau biru menunggu setelah kelelahan menuju puncak. Dan yang paling penting, tak ada sampah.
Iya, sampah di gunung kini seperti menjadi momok menakutkan. Merusakan pandangan mata, membuat penciuman merana, dan menghancurkan keindahan yang semula ada. Tapi uniknya, pernah ada komentar aneh antar sesama pendaki gunung.
“Kalau tak ada sampah, berarti gunung itu nggak keren”, komentar pendaki muda itu, sambil berjalan pendek-pendek turun gunung.
Bukan main, pikir saya. Jadi begini yang ada di otak pendaki-pendaki baru jadi sekarang? Logikanya sepertinya benar. Kalau tak ada sampah, berarti tak ada yang datang ke gunung itu. Sebab siapa lagi pembawa sampah, selain manusia-manusia yang menyambanginya.
Banyak Orang Banyak Sampah
Itu juga yang dibenarkan oleh Kepala Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR), Dedy Asriadi. Menurutnya korelasi antara kenaikan jumlah sampah di gunung, sebanding dengan kenaikan jumlah wisatawan pendaki gunung ke Kawasan konservasi di pulau Lombok tersebut.
“Semakin banyak kunjungan, semakin banyak sampah”, ujar Dedy pada acara Indonesia Mountain Tourism Conference (IMTC), yang diselenggarakan di Jakarta, Rabu (27/9/2023).
Kalau melihat dari grafik yang ada, memang sepertinya benar seperti itu adanya. Menurut catatan jumlah pengunjung TNGR tahun 2018 mencapai 40.633 orang, dan jumlah sampah yang dibawa turun sebanyak 4.926,20 Kilogram (kg). Sementara tahun 2019, grafik pengunjung menurun menjadi 17.171 orang, dan jumlah sampah juga berkurang menjadi 3.800,63 Kg. Tahun berikutnya 2020, karena wabah Covid 19, jumlah pengunjung makin menurun menjadi hanya 7.639 orang, dan jumlah sampah juga turun menjadi 3.629, 30 Kg. Beda lagi pada tahun 2021, ketika jumlah pengunjung TNGR naik lagi menjadi 22.103 orang, jumlah sampah naik lagi menjadi 5.462,61 Kg. Angka itu terus bertambah pada tahun 2022, ketika jumlah pengunjung menjadi 39.524 orang, jumlah sampah naik drastis menjadi 10.735,54 Kg.

Apa Yang Salah ?
Tapi memerhatikan angka-angka itu bukan berarti sistem yang salah. Justru sistem pengendalian sepertinya sudah benar. Karena penghitungan jumlah sampah itu, sebenarnya adalah jumlah sampah yang dibawa turun kembali oleh wisatawan, kemudian diserahkan kepada petugas dan dikumpulkan serta dihitung ulang, baru kemudian dikirimkan ke lokasi-lokasi pembuangan akhir sampah.
Jadi dapat diasumsikan, semakin tahun para wisatawan pendaki gunung semakin tinggi kesadarannya untuk urusan sampah ini. Sebab semakin tinggi jumlah sampah yang dibawa kembali turun, berarti semakin sedikit sampah yang ditinggalkan di gunung.
Lalu bila mau menelisik sistem penanggulangan sampah seperti apa yang diterapkan oleh TNGR, dijelaskan oleh Dedy dilakukan secara menyeluruh mulai dari aktivitas pendakian gunung dimulai, hingga akhirnya para pendaki itu turun gunung lagi.
Ternyata pihak TNGR membagi sistem pengendalian sampah dalam tiga kuadran besar. Sebelum pendakian, saat melakukan pendakian dan setelah melakukan pendakian. Pada tahap sebelum pendakian, seluruh peserta pendakian akan di cek seluruh list peralatan yang dibawa. Dengan adanya list peralatan yang dibawa maka akan diketahui jumlah sampah yang diperkirakan seharusnya dibawa turun. Selain itu juga disarankan pada para pengunjung agar mempacking ulang makanan yang dilapis sampah, membuang pembungkus plastiknya, dan kemudian memindahkan makanan tersebut pada container-kontainer kecil yang kedap air. Pengunjung juga disarankan membawa trash bag besar, agar sampah mereka bisa dibawa turun kembali. Selain juga menolak adanya tissue yang dibawa, serta hanya membolehkan membawa peralatan sesuai standar operasi prosedur sesuai kebutuhan pendakian saja.
Dalam perjalanan pendakian, sampah juga terus dibawa dan tak ditinggalkan di jalur pendakian. Mengajarkan memasak dengan cara paling minimalis, juga menyarankan para pendaki tak membuang kotoran di jalur utama pendakian. Sementara usai mendaki, para pendaki diharuskan memberikan sampah yang mereka bawa kembali, berdasarkan list yang dilakukan sebelum pendakian.
Sistem Baik Mengurangi Sampah
Sistem yang sama ternyata juga diberlakukan oleh pengelola gunung Kembang, Wonosobo. Pengelolaan Zero Waste Mountain yang digagas oleh Eiger di gunung tersebut diklaim juga memberlakukan pengelolaan pengendalian sampah, mulai dari saat pendaki akan naik gunung, saat digunung, hingga usai melakukan pendakian.
Galih Donikara, dari Eiger Adventure Service Team menjelaskan kalau kegiatan yang ada di gunung Kembang merupakan program adopsi gunung yang dilakukan oleh pihak Eiger. Pada intinya mereka membantu sistem pengelolaan wisata pendakian gunung di wilayah tersebut. Harapannya bila sistem pengelolaan pendakian dapat berjalan baik, maka niat konservasi terhadap gunung tersebut juga bisa mencapai tujuan yang diinginkan.
“Biasanya kami memulai pengelolaan dari saat para pengunjung datang, saat beristirahat sebelum mendaki kami akan memberikan edukasi dan membuat list peralatan dan perlengkapan pendakian”, urai Galih, pada kesempatan yang sama.
Pada kasus-kasus perlengkapan yang berpotensi menjadi sampah, pihak pengelola akan memberikan alternatif packing barang yang lebih ramah lingkungan. Mereka juga menyediakan tempat-tempat tambahan yang bisa dipakai dahulu bagi para pendaki, sebagai alternatif tempat bagi perlengkapan yang dipacking ulang tersebut. Konsekuensinya, pihak Eiger kemudian juga menyediakan pos administrasi yang layak, lengkap dengan berbagai informasi sistem pendakian, dan pamflet yang mengarah reduksi sampah dalam perjalanan pendakian gunung, hingga penyediaan berbagai peralatan alternatif yang dapat dipakai oleh pengunjung selama melakukan pendakian.
“Jangan mengambil apapun selain gambar, jangan meninggalkan apa pun selain jejak, jangan membunuh apa pun selain waktu. “
Anonymous
Utopis atau Realis ?
Berkaca pada berbagai pengalaman diatas, dapat disimpulkan kalau sistem pengelolaan yang baik, ternyata bisa juga mereduksi jumlah sampah yang ada di pegunungan akibat wisata. Hanya saua bila kemudian kita berharap adanya kondisi ideal tanpa adanya sampah di gunung, bisa jadi merupakan mimpi ideal yang letaknya bisa jadi hanya ada di surga. Sifat manusia yang secara kodrati memang diciptakan merusak, sepertinya sangat sulit untuk dihilangkan. Kita tak bisa berharap semua pendaki gunung atau wisatawan baru ingin naik gunung akan melakukan tindakan ideal seperti yang diharapkan diatas.
Akan selalu ada evaluasi dari program yang dilakukan. Seperti di gunung Kembang. Pihak Eiger sendiri menyadari ada ketidaksingkronan antara rencana giliran patroli kebersihan jalur pendakian, dengan rotasi dan kedatangan pendaki yang tak tentu waktunya.
“Mereka bisa datang jam berapa saja. Kadang-kadang waktu tengah malam. Sementara rotasi hanya dilakukan pada siang hari. Pada saat mereka melakukan pendakian malam hari, tak ada sistem yang berjalan saat itu”, papar Galih lagi.
Evaluasi yang sama juga diberikan oleh Dedy bagi sanksi blacklist bagi para pendaki yang ketahuan tak mematuhi peraturan membawa kembali sampah di TNGR. Menurutnya sanksi blacklist itu tak efektif, karena pendaki yang diblacklist tetap bisa melakukan pendakian digunung-gunung lain di Indonesia.
“Kami memberlakukan sanksi blacklist bagi para pendaki yang ketahuan atau terendus berkelit atau tidak mengindahkan sistem pengendalian sampah itu. Jadi pendaki yang kena blacklist itu, tidak akan diperbolehkan mendaki gunung Rinjani lagi. Tapi sayangnya blacklist pendaki itu, tidak berlaku untuk gunung yang lain, jadi pendaki yang kena blacklist di gunung Rinjani masih bisa mendaki di gunung yang lain. Berikutnya saya akan berkoordinasi dengan petugas di gunung-gunung lain, agar blacklist itu juga berlaku bagi para pendaki disemua gunung yang ada di Indonesia”, ucap Dedy.
Jadi bukannya mau meremehkan upaya berbagai pihak diatas dalam mereduksi sampah di gunung. Namun perlu tampaknya dukungan berbagai pihak dalam menyelesaikan masalah ini. Bahkan dukungan bukan hanya dari sistem, namun dari berbagai sektor yang memengaruhi masalah ini. Peran serta para wisatawan dan pendaki gunung bahkan mungkin menduduki posisi paling penting dalam masalah ini. Mengingat awal dari segala masalah sampah merupakan kedatangan para wisatawan pendaki gunung tersebut, maka sampah di gunung menjadi makin membesar adanya. Tanpa dukungan berbagai pihak, maka bisa jadi kondisi permai di gunung,seperti awal tanpa adanya manusia akan tetap berada di zona utopis, tanpa sedikitpun bergerak di area realis. (Sulung Prasetyo)
+ There are no comments
Add yours