Menuju Jalan Setapak yang Berkelanjutan di Alam Indonesia

Views: 123

Di banyak pegunungan dan kawasan hutan Indonesia, jalan setapak menjadi urat nadi petualangan, menghubungkan manusia dengan alam. Dari jalur pendakian Gunung Gede Pangrango hingga lintasan hutan di Taman Nasional Gunung Rinjani. Setiap langkah di tanah lembap, batu, atau akar pohon bukan sekadar perjalanan fisik — melainkan juga cerminan hubungan kita dengan bumi. Namun, di balik keindahan itu, sebagian besar jalan setapak di Indonesia menghadapi ancaman serius. Erosi, sampah, dan degradasi lingkungan akibat tekanan wisata tanpa pengelolaan berkelanjutan.

Dalam dua dekade terakhir, lonjakan minat masyarakat terhadap kegiatan alam bebas membawa berkah bagi ekonomi lokal, tapi juga meninggalkan luka di banyak ekosistem pegunungan. Jalur pendakian yang dulunya sempit dan alami kini melebar tak terkendali. Itu karena ribuan sepatu yang melintas setiap akhir pekan. Tanah tergerus air hujan, akar-akar terbuka, dan vegetasi di pinggir jalur mati karena terinjak. Di beberapa gunung populer seperti Salak dan Prau, jalur bahkan berubah menjadi parit air ketika hujan lebat turun.

Kerusakan semacam ini bukan sekadar estetika. Erosi di jalur mendaki menyebabkan sedimentasi di sungai, merusak kualitas air dan habitat akuatik. Di sisi lain, banyak jalur tidak memiliki sistem drainase atau penanda resmi, sehingga pengunjung kerap membuka jalur alternatif baru yang mempercepat kerusakan. Ketika ribuan orang datang tanpa pengelolaan yang memadai, apa yang seharusnya menjadi pengalaman mencintai alam justru berubah menjadi beban ekologis.

Belajar dari Dunia

Masalah semacam ini bukan hanya terjadi di Indonesia. Di banyak negara dengan budaya hiking kuat seperti Amerika Serikat, Kanada, Selandia Baru, dan Jepang, persoalan serupa sudah dihadapi sejak lama. Bedanya, mereka telah membangun sistem pengelolaan sustainable trail — jalan setapak berkelanjutan — yang memungkinkan kegiatan outdoor terus berlangsung tanpa menghancurkan alam.

Hui Min Lim, Founder dan Director Dirtraction Trail Service menyatakan ada empat prinsip utama yang diterapkan secara global dalam pengelolaan jalan setapak berkelanjutan. “Ke empat konsep dasar itu adalah penyelarasan, drainase, daya tahan dan pengalaman”, ungkap Lim dalam Talkshow bertajuk Jalan Setapak Dunia untuk Indonesia, yang digagas PT. Adhimukti Triyasa Calya dalam acara Outfest 2025 di Jakarta.

Penyelarasan mencakup perancangan jalur mengikuti kontur alami, bukan memaksa medan. Jalur dibuat dengan kemiringan tertentu agar air hujan tidak terkonsentrasi di satu titik dan menyebabkan erosi. Di Taman Nasional Great Smoky Mountains, Amerika Serikat, misalnya, setiap satu kilometer jalur memiliki titik drainase kecil yang disebut grade reversals untuk mengalirkan air secara alami.

Selain desain, faktor daya tahan jalur melalui perawatan dan daya tarik keindahan disepanjang jalur, menjadi kunci yang lain. Program seperti Leave No Trace di Amerika dan Respect Nature di Norwegia mengajarkan pendaki bagaimana berjalan, berkemah, dan berinteraksi dengan lingkungan tanpa meninggalkan dampak negatif. Di Selandia Baru, bahkan setiap pendaki yang hendak masuk ke jalur terkenal seperti Tongariro Alpine Crossing, diwajibkan menonton video edukasi singkat tentang etika dan keselamatan.

Jalur setapak di jalur pendakian Plawangan Sembalun, Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR) pada September 2025 terlihat makin melebar dan luas memanjang karena makin tingginya tingkat pengunjung yang datang tiap harinya. (dok. lingkar bumi/sulung prasetyo)

Potret Indonesia: Alam yang Tak Sempat Dipulihkan

Di Indonesia, sebagian besar pengelolaan jalur masih bersifat reaktif. Jalur diperbaiki setelah rusak, bukan dirancang untuk tahan lama sejak awal. Dana konservasi sering terbatas, sementara jumlah pengunjung meningkat tajam. Banyak jalur di gunung-gunung favorit seperti Papandayan, Semeru, dan Merbabu kini dikelola oleh komunitas lokal atau pihak swasta, tapi belum semuanya memiliki pemahaman teknis tentang pembangunan jalur yang berkelanjutan.

Sebagian pihak sudah mulai bergerak. Komunitas pecinta alam di Rinjani, misalnya, mulai menata jalur baru dengan memperhatikan kemiringan alami dan penanaman kembali vegetasi di sisi jalur. Di Gunung Gede Pangrango, Balai Taman Nasional bekerja sama dengan relawan untuk memperbaiki jalur yang rusak berat akibat erosi.

Kepala Taman Nasional Gunung Gede Pangango (TNGP), Arief Mahmud juga menyepakati hal tersebut. Dalam kajian yang kemudian dilakukan, “Pihak TNGP telah mencoba mengurangi kerusakan dengan mengatur kuota pengunjung TNGP, melalui indikator daya dukung dan daya tampung lokasi”, ungkap Arief pada waktu yang sama.

Solusi dari Pendekatan Global

Beberapa pelajaran penting dari praktik global bisa diadaptasi untuk konteks Indonesia:

Desain berbasis sains dan kontur alam.
Jalur harus dibangun dengan mempertimbangkan drainase, kemiringan, dan jenis tanah. Teknologi pemetaan digital seperti LIDAR dan GIS kini banyak digunakan di luar negeri untuk merancang jalur yang tahan terhadap air hujan dan tekanan pengunjung.

Pelibatan komunitas lokal sebagai pengelola utama.
Di Nepal dan Bhutan, masyarakat lokal dilatih menjadi trail caretaker, yang bertugas memelihara jalur dan melaporkan kerusakan. Pendekatan serupa bisa diterapkan di desa-desa sekitar kawasan wisata alam di Indonesia, dengan memberi mereka pelatihan dan insentif ekonomi.

Sistem kuota dan perizinan berbasis kapasitas ekologis.
Jalur terkenal seperti Inca Trail di Peru hanya boleh dilalui 500 orang per hari untuk mencegah kerusakan. Indonesia juga bisa menerapkan sistem pembatasan dinamis, terutama di musim ramai, agar alam punya waktu untuk pulih.

Program edukasi dan sertifikasi pendaki.
Sebelum masuk kawasan sensitif, pengunjung wajib mengikuti briefing singkat tentang etika lingkungan. Konsep ini sudah mulai diterapkan di beberapa taman nasional, namun perlu diperluas agar menjadi standar nasional.

Pemantauan berkelanjutan menggunakan teknologi.
Kamera, sensor kelembapan tanah, dan data pengunjung bisa digunakan untuk memantau kesehatan jalur. Hasilnya membantu pengelola menentukan kapan jalur harus ditutup sementara atau diperbaiki.

Menapak dengan Kesadaran Baru

Pembangunan jalan setapak berkelanjutan tidak hanya urusan teknis, tapi juga filosofi hubungan manusia dengan alam. Jalan yang lestari bukan sekadar untuk mendaki lebih nyaman, melainkan agar setiap langkah menjadi penghormatan terhadap kehidupan yang menopang kita. Di banyak budaya Nusantara, konsep itu sesungguhnya sudah hidup lama — seperti dalam falsafah Dayak yang menyebut hutan sebagai “ibu”, atau masyarakat Bali yang menjaga harmoni melalui Tri Hita Karana.

Kini, saat tekanan terhadap alam semakin besar, kita perlu menghidupkan kembali kebijaksanaan itu dalam konteks modern. Setiap jalur yang dibangun seharusnya menjadi simbol pertemuan antara petualangan dan konservasi, bukan pertentangan di antara keduanya.

Dengan pendekatan ilmiah, kebijakan yang berpihak pada keberlanjutan, dan keterlibatan masyarakat, Indonesia bisa menjadi contoh bagaimana pariwisata alam dikelola dengan hormat dan tanggung jawab. Karena di ujung setiap jalan setapak yang lestari, bukan hanya puncak gunung yang menunggu — tapi juga masa depan bumi yang lebih seimbang. (Sulung Prasetyo)

Artikel Dari Penulis Yang Sama

goa terdalam dunia

Satwa Alien Goa Terdalam Dunia

mangrove

Ketika Karbon Laut Disulap Jadi Plastik yang Bisa Hilang Sendiri

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *