mangrove

Ketika Karbon Laut Disulap Jadi Plastik yang Bisa Hilang Sendiri

Views: 13

Para ilmuwan berhasil mengembangkan teknologi baru yang dapat menangkap karbon dioksida (CO₂) langsung dari air laut dan mengubahnya menjadi bahan baku plastik biodegradable. Inovasi ini dianggap sebagai terobosan penting dalam upaya mengatasi emisi karbon dan polusi plastik secara bersamaan.

Penelitian tersebut dipublikasikan dalam jurnal Nature Catalysis pada awal Oktober 2025. Tim peneliti yang dipimpin oleh Chuan Xia dari Southern University of Science and Technology (SUSTech), China, menggabungkan proses elektrokimia dan biokatalisis untuk menciptakan sistem hibrida yang mampu menangkap CO₂ dari air laut dengan efisiensi tinggi dan kemudian mengonversinya menjadi bahan kimia pembentuk plastik ramah lingkungan.

CO₂ Laut Sebagai Sumber Karbon

Lautan selama ini berperan besar dalam menyerap karbon dari atmosfer, menampung sekitar 25 persen emisi CO₂ global dunia. Namun penyerapan ini menyebabkan peningkatan keasaman laut yang mengancam ekosistem dan kehidupan biota laut.

Melalui penelitian terbaru ini, tim Xia menawarkan solusi ganda, yaitu mengurangi kadar karbon terlarut di laut dan sekaligus memanfaatkannya sebagai sumber bahan kimia baru. Sistem tersebut mampu menangkap karbon dalam bentuk CO₂ terlarut dengan konsentrasi rendah — sekitar 2,16 milimolar, setara dengan kadar alami air laut terbuka.

Menurut laporan tersebut, sistem ini menggunakan solid-electrolyte electrolyser, sejenis alat elektrolisis yang dirancang untuk memisahkan dan mengubah CO₂ dari air laut menjadi senyawa lain. Efisiensi penangkapan mencapai lebih dari 70 persen, dengan konsumsi energi sekitar 3 kilowatt-jam per kilogram CO₂.

“Ini adalah langkah besar menuju sistem karbon sirkular yang berkelanjutan,” kata Xia dalam laporan tersebut. “Kami tidak hanya menangkap karbon, tetapi juga menggunakannya untuk menghasilkan bahan kimia bernilai tinggi.”

Konversi Elektrokimia dan Produksi Asam Format

Setelah CO₂ berhasil dipisahkan, tahap berikutnya adalah konversi elektrokimia menggunakan katalis bismut (Bi). Proses ini mengubah karbon menjadi asam format (formic acid), salah satu bahan kimia dasar penting yang banyak digunakan di industri.

Dalam pengujian laboratorium, sel elektrokatalitik yang digunakan mampu mencapai kepadatan arus sebesar 800 miliampere per sentimeter persegi (mA/cm²) pada tegangan –1,37 volt. Hasil utamanya adalah produksi asam format dengan tingkat kemurnian tinggi dan stabilitas operasional hingga 536 jam tanpa penurunan performa signifikan.

Analisis ekonomi menunjukkan bahwa biaya penangkapan dan konversi CO₂ melalui sistem ini berada pada kisaran US$229,9 per ton, angka yang relatif kompetitif dibandingkan teknologi penangkapan karbon konvensional yang umumnya memerlukan biaya antara US$250 hingga US$600 per ton.

Proses merubah karbon yang diserap laut menjadi produk platik biodegrable yang lebih ramah lingkungan.

Proses Biokatalisis

Setelah menghasilkan asam format, tim peneliti menggunakan mikroorganisme rekayasa genetik untuk tahap biokonversi. Mereka memilih Vibrio natriegens, bakteri laut yang dikenal memiliki laju pertumbuhan cepat dan toleransi tinggi terhadap garam.

Melalui rekayasa genetik, mikroba ini diubah agar dapat memetabolisme asam format menjadi asam suksinat (succinic acid), senyawa kimia yang menjadi bahan dasar pembuatan plastik biodegradable seperti poly(butylene succinate) (PBS).

Dalam uji fermentasi, konsentrasi asam suksinat yang dihasilkan mencapai 1,37 gram per liter. Menurut tim peneliti, angka ini masih tergolong tahap awal, namun menunjukkan potensi besar bagi pengembangan industri plastik berbasis karbon laut.

“Asam suksinat adalah komoditas penting untuk plastik ramah lingkungan,” ujar salah satu anggota tim, Dr. Yifan Li, dikutip dari TechXplore. “Dengan teknologi ini, kita bisa memproduksinya langsung dari karbon laut tanpa bergantung pada bahan baku fosil.”

Menuju Plastik Berbasis Karbon Laut

Senyawa asam suksinat dapat diproses lebih lanjut menjadi plastik jenis PBS, yang bersifat biodegradable dan banyak digunakan untuk kemasan makanan, peralatan medis, hingga tekstil. Plastik jenis ini dapat terurai secara alami dalam kondisi lingkungan tertentu, berbeda dengan plastik konvensional berbahan dasar minyak bumi yang membutuhkan waktu ratusan tahun untuk hancur.

Dengan sistem hibrida ini, siklus karbon menjadi lebih tertutup. Anasir CO₂ yang sebelumnya mengancam lingkungan laut diubah menjadi produk bernilai ekonomi, kemudian setelah masa pakainya, plastik tersebut dapat terurai dan kembali ke alam tanpa meninggalkan jejak berbahaya.

“Teknologi ini merupakan contoh ideal dari ekonomi sirkular karbon,” tulis laporan Nature Catalysis. “Ia menghubungkan upaya mitigasi perubahan iklim dengan kebutuhan industri akan bahan baku berkelanjutan.”

Tantangan dan Langkah Berikutnya

Meskipun hasil penelitian menunjukkan potensi besar, para ilmuwan mengakui bahwa masih banyak tantangan yang harus diatasi sebelum sistem ini dapat diterapkan secara industri.

Pertama, efisiensi mikroba dalam menghasilkan asam suksinat masih perlu ditingkatkan agar proses menjadi lebih ekonomis. Kedua, integrasi antara sistem elektrokimia dan biokatalisis harus dioptimalkan agar dapat beroperasi secara kontinu dalam skala besar.

Selain itu, biaya penangkapan CO₂ masih relatif tinggi untuk produksi massal plastik. Tim peneliti memperkirakan biaya dapat turun signifikan seiring peningkatan skala produksi dan kemajuan teknologi elektrolisis.

Mereka juga menekankan perlunya analisis dampak lingkungan secara menyeluruh (life-cycle analysis) untuk memastikan bahwa keseluruhan proses benar-benar memberikan manfaat bersih bagi planet ini, termasuk dari sisi energi, bahan baku, dan limbah produksi.

Artikel lain:

Prospek Ekonomi Sirkular

Penelitian ini juga membuka peluang baru di bidang ekonomi sirkular. Dengan memanfaatkan karbon laut sebagai bahan mentah, industri dapat memproduksi bahan kimia dan plastik yang bernilai tinggi tanpa meningkatkan emisi tambahan.

Selain asam suksinat, sistem serupa berpotensi dikembangkan untuk menghasilkan bahan kimia lain seperti metanol, etanol, atau asam asetat, yang masing-masing memiliki aplikasi luas di sektor energi dan manufaktur.

Tim Xia berencana mengembangkan versi lanjutan dari sistem ini yang dapat beroperasi di instalasi lepas pantai (offshore platform), serta memanfaatkan energi terbarukan seperti tenaga surya atau angin sebagai sumber listrik utama.

Teknologi gabungan elektrokimia dan biokatalisis yang dikembangkan oleh tim dari SUSTech menandai langkah baru dalam upaya global mengatasi perubahan iklim dan polusi plastik. Dengan menangkap CO₂ dari air laut dan mengubahnya menjadi plastik biodegradable, sistem ini tidak hanya mengurangi emisi karbon, tetapi juga menciptakan nilai ekonomi baru dari sumber daya yang selama ini belum dimanfaatkan.

Meski masih memerlukan penyempurnaan dari sisi biaya dan efisiensi, penelitian ini menunjukkan arah yang jelas menuju masa depan industri kimia yang lebih hijau dan berkelanjutan. Jika berhasil diterapkan secara luas, laut yang selama ini menjadi korban emisi karbon, suatu hari bisa menjadi bagian dari solusinya. (Wage Erlangga)

Artikel Dari Penulis Yang Sama

Menuju Jalan Setapak yang Berkelanjutan di Alam Indonesia

pulau lombok

Mengapa di Pulau Lombok Tidak Ada Hewan Predator?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *