Views: 77
Awalnya tercetus ajakan untuk kembali mengurus Federasi Mountaineering Indonesia (FMI) medio April 2025 lalu. Ajakan itu muncul dari Rachmat Abbas, selaku Ketua Harian FMI disela acara reuni kami bertiga di Bogor.
FMI sendiri sudah saya kenal sejak awal pembentukannya tahun 2005 lalu. Saat FMI bermarkas di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) – yang sekarang jadi BRIN – kerap mondar-mandir rapat disana sampai larut malam. Namun karena kesibukan sebagai jurnalis Sinar Harapan, akhirnya FMI sempat terlepas dari pantauan.
Setelah mengiyakan ajakan gabung FMI, tiba-tiba sudah dimasukan dalam grup WA bertajuk Tim Perumus Pelatihan Mountain Rescue. Rapat sekali dengan beberapa anggota tim di warung kopi Apartemen Kalibata Jakarta, tersusun skenario membuat kurikulum dan modul pelatihan untuk kajian Mountain Rescue.
Sedang asyik-asyiknya menunggu kajian modul, karena saya kena tanggung jawab sebagai editor, menyeruak tema baru tentang Indonesia Mountaineering Grade System (IMGS) ditengah wacana obrolan serius WA grup.
Proses Review
Meski keluar dari tema utama, akhirnya beberapa rekan yang aktif di grup sukarela membahas tentang wacana IMGS itu. Lantaran sudah ada draft konsep, yang berisi lengkap metodologi dan kajian klasifikasi, serta perangkat implementasi didalamnya.
Wisnu Wiryawan dan Tasril ‘Iril’ Mulyadi, yang sepertinya menjadi penyusun konsep utama. Meski saya tak tahu siapa dan apa yang apa yang melatarbelakangi wacana itu, hingga bisa tiba-tiba muncul dipermukaan. Hanya satu yang saya ingat, tentang pembicaraan tim FMI dengan Kasubdit Pengelolaan Jasa Lingkungan Kementerian Kehutanan, Johan Setiawan di Bogor awal Mei 2025 lalu. Salah satu hasil pembicaraan singkat itu membahas tentang perlunya klasifikasi gunung, karena tiap gunung punya karakter sendiri. Baru kemudian Standar operasional Prosedur (SOP) pendakian bisa dibuat menyesuaikan klasifikasi gunung. Mungkin hasil pembicaraan singkat itu yang kemudian ditindaklanjuti dan menelurkan konsep IMGS yang sekarang menjadi bahasan di grup WA.
Seingat saya tak banyak kontroversi di internal FMI sendiri tentang kajian IMGS. Kecuali penambahan dari saya pribadi, tentang faktor satwa liar, sebagai salah satu tolok ukur tingkat kesulitan pendakian gunung. Mengingat banyak kejadian pendakian gunung di Indonesia, yang justru terkendala bukan karena faktor medan curam, atau iklim tak mendukung saja. Namun faktor satwa liar bisa menjadi penyebab kendala dan mempersulit pendakian.
Akhirnya desakan itu disetujui, dan faktor biologi menjadi salah satu indikator utama ukuran tingkat kesulitan pendakian gunung selain morfologi, geografi, dan klimatologi.
Masalah lain merupakan penolakan Adiseno, salah satu senior pendakian gunung di Indonesia, sebagai salah satu reviewer. Info dari Wishnu, Adiseno menolak karena ia sudah menjadi bagian kajian yang sama, namun dikeluarkan oleh Asosiasi Pemandu Gunung Indonesia (APGI). Jadi menurut Adiseno, agar tak terjadi tumpukan nama dan kepentingan, ia memilih agar namanya dihapuskan dalam daftar reviewer kajian IMGS versi FMI.
Namun Adiseno memberikan pendapat, “…, maka saya sampaikan secara confidential bahwa draft grading ini secara ilmiah memadai. Sebagai alat ukur mudah digunakan”. Demikian pendapat Adiseno melalui pesan pendek yang dikirimkan ke Wisnu dan diteruskan ke grup WA.
Masalah lainnya hanya slentingan-slentingan konflik kecil, yang mempermasalahkan kajian dasar metodologi IMGS antara FMI dan APGI yang akhirnya bisa diselesaikan dengan baik.
Kesepakatan Jogjakarta
Gulir IMGS terus membesar, saat Musyawarah Nasional (Munas) FMI dilaksanakan akhir Juli 2025 lalu. Usai memilih ketua umum, wacana peresmian IMGS sebagai salah satu produk FMI mengemuka. Sehingga akhirnya dicapai kesepakatan, untuk mengusung dan memperjuangkan IMGS sebagai salah satu ukuran yang harus dijadikan standar nasional, dan diterapkan di jalur-jalur pendakian gunung Indonesia. Kerjasama dengan instansi terkait harus dikedepankan, selain juga kerjasama dalam bidang lain seperti pelatihan mountain rescue dan sertifikasi internasional.
Akhir Juli 2025 kajian IMGS dijadikan tema utama dalam sebuah workshop yang diadakan di Jogjakarta. Workshop itu sendiri merupakan inisiatif dari Kementerian Kehutanan, melalui Direktorat Pemanfaatan Jasa Lingkungan, dan menyertakan seluruh Kepala Taman Nasional di Indonesia, yang khususnya memiliki wilayah pegunungan.
Rapat tim perumus segera digelar sebelum workshop dimulai. Yang hadir, Ripto Mulyono, Chrisna Hadi Suryanto, Bambang Tutuko, Widya, Wisnu, Tasril ‘Iril’ dan saya sendiri. Agendanya menyatukan visi dan output yang diharapkan dari workshop tersebut bagi FMI.
Empat orang kemudian diutus dari FMI untuk pergi ke Jogjakarta. Abbas, Wishnu, Tasril ‘Iril’ dan Andi Ronikus. Targetnya jelas, meresmikan IMGS sebagai kesepakatan bersama untuk tingkat kesulitan pendakian gunung di Indonesia, serta validasi beberapa jalur pendakian melalui aplikasi perangkat yang sudah disediakan.
Hasilnya seperti yang sudah diketahui, IMGS menjadi standar bersama seluruh Taman Nasional (TN) dan Taman Wisata Alam (TWA) yang berada dibawah naungan Kemenhut. Selain juga tervalidasi grade 81 jalur pendakian gunung diseluruh Indonesia dibawah naungan Kemenhut.
Puncak dan Kelanjutan
Keabsahan IMGS terus membesar tatkala Raja Juli, selaku Menteri Kehutanan merilis IMGS dihadapan jurnalis pada pertengahan Agustus 2025. Dalam konpers tersebut juga diterbitkan buku mengenai ‘Grading Jalur Pendakian Gunung di Kawasan Taman Nasional dan Taman Wisata Alam’.

Dalam sambutan di awal buku, Raja Juli menjelaskan kalau sistem grading untuk gunung ini terpicu dari kejadian kecelakaan yang menimpa pendaki Brasil di Gunung Rinjani, Juliana Marins.
“Grade Jalur Pendakian ini diharapkan dapat memberi guide line pengelola jalur pendakian menyusun program mitigasi risiko yang efektif untuk mewujudkan zero accident, sekaligus sebagai gambaran bagi calon pendaki untuk menentukan tujuan pendakian berdasarkan kapasitas dirinya,”papar Raja Juli.
Raja Juli juga menjelaskan kalau grade gunung dalam konsep IMGS ini akan menjadi dasar dibuatnya SOP jalur pendakian. Praktek pertama akan diberlakukan di Gunung Rinjani, dan akan berlanjut ke jalur-jalur pendakian gunung lain dibawah naungan Kemenhut.
Meski sudah resmi digunakan pemerintah, namun IMGS sebenarnya baru memasuki gerbang awal pemanfaatan. Masih panjang jalan untuk implementasi IMGS dan SOP-SOP baru pendakian gunung di Indonesia. Belum lagi masalah masih banyaknya jalur pendakian gunung, yang sebenarnya tidak berada dibawah pengelolaan Kemenhut. Padahal resiko kecelakaan tinggi juga mengintai dari jalur-jalur pendakian tersebut. (Sulung Prasetyo)






