Views: 15
Penelitian terbaru yang dipublikasikan Agustus 2025 di jurnal Frontiers in Marine Science mengungkapkan fakta mengejutkan tentang kondisi hiu paus (Rhincodon typus) di kawasan Bird’s Head Seascape (BHS), Papua Barat. Dari penelitian tersebut disebutkan lebih dari tiga perempat individu hiu paus yang teridentifikasi di kawasan tersebut mengalami luka. Sebagian besar akibat interaksi dengan aktivitas manusia.
Studi yang dilakukan sejak 2010 hingga 2023 berhasil mencatat 1.118 pengamatan dari 268 individu hiu paus di empat wilayah utama BHS, yakni Teluk Cenderawasih, Kaimana, Raja Ampat, dan Fakfak. Dari data yang ada, para peneliti menemukan bahwa 76,9 persen hiu paus memiliki bekas luka pada tubuhnya.
Luka Akibat Bagan
Mayoritas luka tergolong ringan, berupa abrasi atau goresan di bagian punggung. Luka ini diduga kuat berasal dari gesekan dengan bagan. Bagan (kerap disebut Bagang oleh nelayan Papua-red) merupakan platform penangkapan ikan tradisional yang banyak beroperasi di wilayah tersebut. Bagan kerap menjadi titik berkumpul hiu paus karena sering terdapat ikan kecil yang menjadi sumber makanan mereka. Namun, kedekatan ini juga membawa risiko besar bagi keselamatan satwa laut terbesar di dunia itu.
“Interaksi dengan bagan tampaknya menjadi penyebab dominan luka yang ditemukan pada hiu paus di Bird’s Head Seascape. Luka tersebut memang tidak selalu mematikan, tetapi bisa berdampak pada kesehatan jangka panjang,” demikian diungkapkan Edy Setyawan, salah satu peneliti yang ada.
Edy yang berasal dari Elasmobranch Institute Indonesia yang berada di Bali, Indonesia menuliskan selain luka ringan, peneliti juga mendokumentasikan sejumlah cedera berat, seperti amputasi sirip, bekas jaring, hingga luka dalam pada tubuh. Jenis cedera ini kemungkinan besar terkait dengan alat tangkap ikan, predator besar, atau aktivitas manusia lain yang lebih destruktif.

Benturan Kapal
Meski demikian, penelitian mencatat bahwa risiko benturan dengan kapal di BHS relatif rendah. Hanya 2,4 persen dari individu hiu paus yang teridentifikasi menunjukkan tanda-tanda luka akibat tabrakan dengan kapal. Angka ini jauh lebih kecil dibanding kawasan wisata hiu paus lain yang terkenal di dunia, seperti Cebu, Filipina, di mana 47 persen hiu paus tercatat mengalami luka akibat kapal, atau Holbox Island di Meksiko dengan angka hingga 33 persen.
Kondisi ini menegaskan bahwa ancaman terbesar bagi hiu paus di Papua Barat berbeda dengan lokasi wisata bahari lain. Jika di Cebu atau Holbox risiko utama berasal dari lalu lintas kapal wisata, maka di Bird’s Head Seascape ancaman lebih banyak bersumber dari interaksi langsung dengan aktivitas penangkapan ikan tradisional.
Para peneliti menekankan perlunya tindakan konservasi segera untuk melindungi hiu paus di kawasan ini. Rekomendasi yang diajukan meliputi desain ulang bagan agar lebih ramah bagi satwa laut, serta penerapan kode etik wisata bahari yang ketat di sekitar lokasi pertemuan hiu paus dengan nelayan maupun turis.
Bird’s Head Seascape sendiri dikenal sebagai salah satu habitat penting hiu paus muda di dunia. Sebagian besar individu yang tercatat berusia muda dengan panjang tubuh 2 hingga 8 meter, dan banyak di antaranya berjenis kelamin jantan. Kawasan ini menjadi tempat penting bagi pertumbuhan hiu paus sebelum mereka bermigrasi ke perairan lain untuk bereproduksi.
“BHS merupakan salah satu titik penting dalam siklus hidup hiu paus di Indo-Pasifik. Menjaga mereka tetap sehat di fase muda sangat krusial bagi kelestarian populasi global,” tulis Edy lagi dalam laporan tersebut.
Dengan temuan ini, Bird’s Head Seascape kembali menegaskan posisinya sebagai kawasan yang perlu mendapat perhatian serius. Tidak hanya sebagai destinasi wisata bahari kelas dunia, tetapi juga sebagai benteng terakhir keberlangsungan hiu paus. Tanpa langkah konservasi nyata, luka yang kini tampak di tubuh para hiu paus bisa menjadi simbol ancaman yang lebih besar bagi masa depan spesies raksasa laut tersebut. (Wage Erlangga)





