DANANTARA DAN ENERGI BERSIH, PELUANG ATAU AKAL-AKALAN?

Views: 10

Transisi energi bukan lagi sekadar wacana, melainkan kebutuhan mendesak. Dunia semakin sadar akan dampak buruk emisi karbon terhadap perubahan iklim, tetapi kenyataan di lapangan tidak semudah yang dibayangkan. Indonesia, sebagai salah satu negara penghasil batu bara terbesar, berada di persimpangan jalan: bertahan dengan bahan bakar fosil yang murah tetapi berisiko, atau berinvestasi lebih besar pada energi terbarukan yang masih penuh tantangan.

Sebuah penelitian terbaru dari IESR mengungkapkan bahwa pada tahun 2021, emisi CO₂ dari sektor ketenagalistrikan Indonesia mencapai 193 juta ton. Sementara itu, laporan dari Ember Energy menunjukkan bahwa dalam dekade terakhir, kapasitas pembangkit listrik berbasis batu bara bertambah hingga 30 GW. Angka ini berkontribusi besar terhadap pemanasan global dan mempercepat krisis iklim. Namun, meski dampak negatifnya jelas, energi terbarukan masih menghadapi berbagai kendala dalam pengembangannya.

Batu Bara: Murah, Kotor, tetapi Masih Diandalkan

Indonesia masih sangat bergantung pada batu bara, terutama untuk kebutuhan listrik. Pemerintah terus membangun Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dengan dalih efisiensi biaya dan ketersediaan sumber daya. Harga batu bara yang relatif murah dibandingkan sumber energi lain membuatnya tetap menjadi pilihan utama, meski dampaknya terhadap lingkungan sangat merugikan.

Selain itu, sektor industri besar seperti manufaktur dan pertambangan masih mengandalkan listrik dari PLTU. Mereka membutuhkan pasokan energi yang stabil dengan biaya rendah, sesuatu yang hingga kini belum sepenuhnya bisa dijamin oleh energi terbarukan. Ini membuat batu bara tetap menjadi tulang punggung dalam sistem energi nasional, meskipun dunia sedang bergerak ke arah yang lebih hijau.

Penambangan batubara di Jawa Barat. (photo: pexels/tom fisk)

Harapan Terjal Energi Terbarukan

Energi terbarukan seperti tenaga surya, angin, dan hidro sebenarnya bukan hal baru bagi Indonesia. Potensinya sangat besar, terutama tenaga surya yang bisa dimanfaatkan sepanjang tahun. Namun, pengembangannya masih berjalan lambat. Salah satu hambatan terbesar adalah kurangnya infrastruktur dan regulasi yang mendukung.

Menurut Dr. Budi Santoso, pakar energi dari Universitas Indonesia, “Kita menghadapi kendala besar dalam transisi energi. Selain biaya awal yang tinggi, kepentingan industri batu bara yang sudah mengakar membuat perubahan berjalan sangat lambat. Ditambah lagi, sistem kelistrikan kita masih belum fleksibel untuk mengakomodasi energi terbarukan secara optimal.”

Selain itu, investasi di sektor energi hijau sering kali tersandung oleh birokrasi yang rumit dan minimnya insentif bagi investor. Tanpa dukungan yang kuat dari pemerintah dan sektor swasta, transisi ke energi terbarukan akan terus tertunda.

Kebijakan Baru: Peluang atau Ancaman?

Di tengah perdebatan ini, Danantara, badan pengelola investasi terbaru yang diluncurkan oleh pemerintah Indonesia, berencana menginvestasikan modal sebesar $20 miliar dalam berbagai sektor strategis, termasuk energi baru terbarukan (EBT). Langkah ini diharapkan dapat mempercepat transisi energi di Indonesia menuju sumber energi yang lebih bersih dan berkelanjutan.

Presiden Prabowo Subianto menekankan bahwa investasi awal Danantara akan difokuskan pada sekitar 20 proyek strategis nasional, yang mencakup hilirisasi nikel, bauksit, tembaga, pembangunan pusat data kecerdasan buatan, kilang minyak, pabrik petrokimia, produksi pangan dan protein, akuakultur, serta EBT. Fokus pada sektor-sektor ini menunjukkan komitmen pemerintah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi sekaligus menjaga kelestarian lingkungan.

Keberadaan Danantara juga membuka peluang bagi kolaborasi antara Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan sektor swasta dalam pengembangan proyek-proyek EBT. Dengan dukungan pendanaan yang kuat, diharapkan proyek-proyek energi terbarukan dapat terealisasi lebih cepat, sehingga membantu Indonesia mencapai target pengurangan emisi karbon dan meningkatkan kemandirian energi nasional.

Namun, keberhasilan investasi ini sangat bergantung pada transparansi dan pengelolaan yang efektif. Pemerintah menekankan bahwa Danantara akan beroperasi dengan mindset komersial dan produktif, serta terbuka terhadap audit untuk memastikan akuntabilitas. Dengan pendekatan yang tepat, Danantara berpotensi menjadi pendorong utama dalam transformasi sektor energi Indonesia menuju masa depan yang lebih hijau dan berkelanjutan.

Atap parkir mobil dimanfaatkan sebagai penyangga panel solar pembangkit listrik tenaga surya. (photo: pexels/kindelmedia)

Potensi Kebaikan vs Korupsi

Beralih dari batu bara ke energi terbarukan bukan hanya soal teknologi, tetapi juga kebijakan, kepentingan ekonomi, dan transparansi. Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi pemimpin dalam energi bersih, tetapi tantangannya tidak kecil. Danantara menawarkan harapan baru, tetapi juga menimbulkan kekhawatiran. Dengan budaya korupsi yang masih mengakar di berbagai sektor, ada risiko besar bahwa investasi ini justru akan disalahgunakan.

Kasus terbaru pengoplosan BBM yang melibatkan berbagai pihak menunjukkan betapa lemahnya sistem pengawasan dalam sektor energi. Jika pola serupa terjadi dalam pengelolaan investasi energi terbarukan, maka harapan untuk transisi energi yang bersih bisa berubah menjadi bencana ekonomi dan lingkungan baru. Transparansi dan pengawasan ketat harus menjadi prioritas utama agar investasi ini benar-benar membawa manfaat, bukan hanya menjadi lahan baru bagi kepentingan segelintir elite.

Yang jelas, dunia tidak bisa terus menunggu. Saatnya bagi Indonesia untuk mengambil langkah nyata, bukan sekadar wacana, dalam mewujudkan masa depan energi yang lebih hijau dan berkelanjutan.(Sulung Prasetyo)

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours