Views: 50
Langit Jakarta semakin kelabu, sungai-sungai menghitam, dan udara yang kita hirup semakin pekat dengan polusi. Tapi di balik semua ini, ada satu fakta yang sulit dibantah: Indonesia masih menjadi salah satu penyumbang terbesar emisi karbon di dunia. Data terbaru dari Energy Institute, yang mengeluarkan penelitian tahun 2023 menempatkan Indonesia dalam daftar 10 besar negara pengguna energi fosil terbesar.
Di antara deretan negara yang rakus akan energi kotor, Cina masih memegang posisi puncak dengan konsumsi energi fosil mencapai 140 exajoule, disusul Amerika Serikat dengan 76 exajoule. Dua negara raksasa ini seolah tak terkejar dalam penggunaan batu bara, minyak bumi, dan gas alam. India, Rusia, dan Jepang mengikuti di belakang, masing-masing dengan tingkat konsumsi yang mengkhawatirkan.
Di Timur Tengah, Iran dan Arab Saudi terus membakar minyak dan gas untuk menopang ekonominya, sementara di Asia Timur, Korea Selatan masih menggantungkan industrinya pada batu bara. Kanada, meskipun sering membanggakan citra hijau, nyatanya tetap masuk dalam daftar, menunjukkan bahwa kepentingan ekonomi masih lebih diutamakan daripada lingkungan.
Dan di urutan kesepuluh, ada Indonesia. Konsumsi energi fosil kita mencapai 9 exajoule, jumlah yang setara dengan ratusan juta ton batu bara dan minyak bumi yang dibakar setiap tahunnya. Bagi sebagian orang, angka ini mungkin sekadar statistik. Tapi bagi mereka yang hidup di sekitar PLTU, yang napasnya sesak karena udara kotor, atau yang kehilangan tempat tinggal akibat banjir bandang dan tanah longsor, ini adalah kenyataan yang pahit.

Gagal Dalam Transisi Energi
Siti Wulandari, seorang aktivis lingkungan dari WALHI, dengan tegas menyebut bahwa Indonesia telah gagal dalam transisi energi. Menurutnya, selama bertahun-tahun pemerintah hanya menjual janji tentang energi hijau, sementara kenyataan di lapangan justru menunjukkan pembangunan PLTU baru dan eksplorasi tambang yang terus berjalan.
“Kita selalu mendengar kata ‘transisi energi,’ tapi kenyataannya, industri batu bara tetap dilindungi. Pemerintah lebih sibuk memberikan insentif kepada perusahaan tambang daripada serius mengembangkan energi bersih. Setiap hari rakyat kita menghirup udara beracun, tapi yang diuntungkan tetap segelintir elite,” ujarnya dengan nada geram.
Di sisi lain, pemerintah punya dalihnya sendiri. Andi Prasetyo, perwakilan dari Kementerian ESDM, menyebut bahwa perubahan menuju energi hijau tidak bisa dilakukan dalam semalam. Infrastruktur yang belum siap dan biaya investasi yang tinggi masih menjadi tantangan utama.
“Kami memahami bahwa energi fosil memiliki dampak lingkungan, tapi kita juga harus realistis. Kami sedang menyiapkan skema pensiun dini bagi PLTU dan memberi ruang bagi investor energi terbarukan. Tapi ini butuh waktu,” ujarnya.
Ekspor Batubara Meningkat
Namun, pernyataan ini tidak cukup untuk menenangkan para pegiat lingkungan. Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia telah berulang kali mengumumkan target ambisius untuk mengurangi emisi, tapi di sisi lain, ekspor batu bara terus meningkat. Yang lebih ironis, sebagian besar batu bara itu justru diekspor ke negara-negara yang kini gencar beralih ke energi bersih.
Sementara itu, dampak dari ketergantungan pada energi fosil semakin nyata. Pemanasan global yang terus meningkat menyebabkan cuaca ekstrem semakin sering terjadi. Kekeringan berkepanjangan merusak lahan pertanian, sementara banjir semakin sering melanda kota-kota besar. Di pedalaman Kalimantan dan Sumatra, hutan-hutan yang dulu rimbun kini berganti menjadi lahan tambang yang tandus.
Di tengah kondisi ini, pertanyaannya semakin mendesak, apakah Indonesia akan terus menjadi bagian dari masalah, atau akhirnya berani mengambil langkah nyata untuk berubah? Waktu terus berjalan, dan alam sudah terlalu lelah menunggu. (Sulung Prasetyo)
+ There are no comments
Add yours