pulau lombok

Mengapa di Pulau Lombok Tidak Ada Hewan Predator?

Views: 10

Ketika seseorang menyeberangi Selat Bali menuju Lombok, hanya sejauh tiga puluh kilometer, ia sebenarnya sedang melintasi batas biogeografi paling tajam di dunia, Garis Wallace. Garis ini bukan sekadar imajiner di peta, tetapi perbatasan kehidupan yang memisahkan dunia fauna Asia di barat dan dunia fauna Australia di timur. Dampak nyata dari garis tersebut tampak jelas di Pulau Lombok — tidak ada predator besar yang hidup di sana.

Fenomena ini pertama kali dicatat oleh Alfred Russel Wallace, naturalis Inggris yang menjelajahi kepulauan Indonesia pada abad ke-19. Dalam bukunya The Malay Archipelago (1869), Wallace mencatat betapa menakjubkannya perbedaan fauna di dua pulau yang berdekatan. Di Bali, ia melihat kera, rusa, dan burung mirip Asia. Namun begitu menyeberang ke Lombok, satwa-satwa itu lenyap, digantikan oleh burung berwarna cerah seperti kakatua dan kuskus — ciri khas fauna Australia.

Pengamatan Wallace kemudian didukung oleh banyak penelitian modern yang menegaskan bahwa Selat Lombok menjadi penghalang alami bagi penyebaran satwa darat besar dari Asia. Laut ini memiliki kedalaman sekitar 300 meter di titik terdalamnya, sehingga meski pada masa es ketika permukaan laut turun lebih dari 100 meter, Lombok tetap terpisah dari Bali.

Wallace Line. Sumber: Flickr/Internet Archive Book Images

Bukti dari Penelitian Modern

Salah satu studi paling komprehensif mengenai fauna Lombok dilakukan oleh Western Australian Museum dalam laporan berjudul The Wild Mammals of Lombok Island: Nusa Tenggara, Indonesia – Systematics and Natural History. Studi tersebut mencatat hanya sekitar 24 spesies mamalia darat asli, sebagian besar berupa kelelawar, tikus, dan musang kecil. Tidak ada catatan tentang predator besar seperti harimau, macan tutul, atau beruang.

Peneliti menyebut kondisi ini sebagai “depauperate mammalian fauna,” yakni kemiskinan jenis mamalia besar dibandingkan dengan pulau-pulau di barat Garis Wallace seperti Jawa dan Bali. Mereka menyimpulkan bahwa karena Lombok tidak pernah terhubung dengan daratan Sunda, maka mamalia besar dari Asia tidak pernah mencapai pulau ini.

Kajian serupa oleh Ernst Mayr dalam The Quarterly Review of Biology juga memperkuat teori Wallace. Mayr menunjukkan bahwa distribusi mamalia besar berhenti di Bali; tidak ada satu pun genus besar dari daratan Asia yang menyeberang ke Lombok. Mayr menulis bahwa “meskipun jarak antar pulau kecil, kedalaman laut di antaranya menjadi penghalang yang mutlak bagi mamalia darat.”

Secara geologis, Selat Lombok merupakan bagian dari Palung Wallacea, kawasan laut dalam yang memisahkan dua paparan benua besar: Paparan Sunda di barat (Sumatra, Jawa, Kalimantan) dan Paparan Sahul di timur (Papua, Australia). Selama jutaan tahun, laut dalam ini tidak pernah mengering, bahkan saat zaman es menurunkan permukaan laut secara ekstrem.

Penelitian paleooseanografi menunjukkan bahwa kedalaman Selat Lombok mencapai lebih dari 250 meter di sebagian besar wilayahnya, cukup untuk mencegah terbentuknya jembatan darat. Oleh karena itu, hewan darat besar — yang umumnya tidak bisa berenang jauh — tidak pernah menyeberangi laut ini.

Dunia Tanpa Predator Besar

Ketiadaan predator besar di Lombok membawa konsekuensi ekologis yang signifikan. Di hutan-hutan dan pegunungannya, tidak ada harimau, tidak ada beruang madu, bahkan tidak ada babi hutan besar seperti di Jawa. Posisi “pemangsa puncak” diambil alih oleh burung pemangsa seperti elang dan burung hantu, serta reptil besar seperti ular sanca dan biawak.

Namun, menurut kajian ekologi dari Western Australian Museum, skala rantai makanan di Lombok jauh lebih pendek dibandingkan di pulau besar. Tanpa predator besar, hewan-hewan kecil seperti tikus, bajing, dan burung tanah mengalami tekanan predasi yang rendah. Akibatnya, populasi mereka bisa meningkat lebih cepat, menciptakan dinamika ekosistem yang berbeda.

Bagi masyarakat Lombok, ketiadaan predator besar memberikan keuntungan praktis, kehidupan di pegunungan dan pedesaan relatif aman dari ancaman hewan buas. Petani tidak perlu khawatir tentang harimau yang memangsa ternak, seperti halnya di Jawa pada masa lalu.

Namun, di sisi lain, ketidakseimbangan ekologis bisa muncul. Tanpa pemangsa besar, populasi hewan pengerat dapat meningkat pesat dan merusak hasil pertanian. Karena itu, masyarakat lokal memanfaatkan burung hantu dan ular sebagai pengendali alami hama. Ini adalah contoh bagaimana manusia beradaptasi untuk mengisi peran ekologis yang secara alami kosong.

Monyet Ekor Panjang (Kera Abu-abu) adalah spesies monyet yang banyak menghuni kawasan hutan Taman Nasional Gunung Rinjani, Lombok, Nusa Tenggara Barat. (dok. Lingkar Bumi/Sulung Prasetyo)

Lombok dan Warisan Wallacea

Ketiadaan predator besar bukan berarti Lombok miskin keanekaragaman hayati. Sebaliknya, isolasi pulau ini menciptakan spesies endemik yang tidak ditemukan di tempat lain. Beberapa burung, kadal, dan mamalia kecil di Lombok merupakan hasil evolusi terpisah sejak jutaan tahun.

Wilayah ini merupakan bagian dari Wallacea, zona peralihan unik yang secara biogeografi berada di antara dua dunia — Asia dan Australia. Di sinilah batas penyebaran hewan Asia berakhir dan hewan Australia mulai muncul. Garis Wallace yang melewati Selat Lombok adalah simbol dari sejarah panjang pemisahan ini.

Para ahli biogeografi modern kini memandang Lombok sebagai laboratorium alami untuk memahami efek isolasi terhadap evolusi dan ekologi. Tanpa predator besar, setiap spesies di pulau ini memiliki tekanan seleksi yang berbeda, menghasilkan kombinasi unik antara fauna Asia dan Australasia.

Namun, kondisi ini juga rapuh. Gangguan manusia seperti alih fungsi lahan, perburuan, dan introduksi spesies asing (seperti kucing atau anjing liar) bisa mengacaukan keseimbangan yang telah terbentuk selama ribuan tahun.

Karena itu, peneliti dari Western Australian Museum dan lembaga konservasi Indonesia menekankan pentingnya melindungi keanekaragaman Lombok — bukan hanya karena keindahannya, tetapi karena pulau ini menyimpan bukti hidup dari proses evolusi yang dipisahkan oleh laut dalam selama jutaan tahun.

Jika di Jawa harimau dulu menjadi simbol kekuatan alam liar, maka di Lombok kekuatan itu terletak pada ketiadaan. Di sini, tidak ada auman di malam hari, tidak ada jejak besar di lumpur hutan, tidak ada predator puncak yang mengintai mangsanya.

Dan justru karena itu, Lombok mengajarkan kita tentang satu hal mendasar dalam evolusi: bahwa kehidupan tidak hanya dibentuk oleh keberadaan, tetapi juga oleh ketiadaan. Garis Wallace dan laut dalam Selat Lombok bukan hanya memisahkan benua — mereka memisahkan dua dunia kehidupan yang sangat berbeda. (Sulung Prasetyo)

Artikel Dari Penulis Yang Sama

mangrove

Ketika Karbon Laut Disulap Jadi Plastik yang Bisa Hilang Sendiri

umy pakaian mendaki gunung

UMY Kembangkan Pakaian Mendaki Gunung Darurat

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *