19 September 2024

Views: 272

Panas masih mendera, tatkala roda motor mulai menghampir ujung aspal. Ke depan terlihat jalan licin, lapisan batuan gamping yang mulai terselimut lumut. Roda-roda motor tampak terus saja menggelincir. Memohon ampun pada sang pengendara. Meminta agar dituntun saja. Sementara di sekeliling kami terhampar puluhan bukit-bukit kapur. Saling berdiri bersahutan. Kadang membentuk gerbang, kadang berbentuk serupa rambut mohawk yang menjadi trend laki-laki masa kini.

Disini, di belahan barat Raha, pelabuhan terakhir yang saya temui di kabupaten Muna – Sulawesi Tenggara. Tampak formasi gamping makin menunjukan dirinya. Garang membelah langit yang sore ini agak kelabu.

Sambil jalan ia terus bercerita mengenai keberadaan goa-goa disana. “Disini kami menyebut goa dengan nama Leang,” ucap mulut keriputnya. Namun langkahnya yang masih tegap, menghilangkan perasaan ragu saya pada kemampuannya. “Sebenarnya sudah banyak orang yang kesini. Kebanyakan turis asing, atau peneliti dari Jakarta, “ ucapnya. “Menurut mereka kebanyakan gambar-gambar yang ada didalam leang tersebut merupakan hasil karya sebelum kemampuan manusia menulis didapatkan.”

Leang Kobori

Melewati tanjakan ketiga, terlihat langit makin menggelap. Di sisi kiri jalan terlihat sebentuk rumah kayu, yang terlihat kontras dengan dinding gamping dibelakangnya. Jalan kedepan tampak terlihat masih penuh dengan rerimbunan semak setinggi pinggang lelaki dewasa. Selintas tampak jalur menguning tua, jelas menunjukan arah kami.

Tak berapa lama kedepan, terlihat sebentuk pagar dengan sebuah pintu kecil ditengahnya. Sebentuk papan pemberitahuan tampak berdiri menyendiri disamping pintu pagar. Tak banyak cakap, La Ode Sada mendahului. Menyambut sebuah pelataran dengan mulut goa membentang lebar. “Sekarang kita tiba di Leang Kabori,” tuturnya.

“Goa ini disebut Kabori, karena banyaknya gambar-gambar purba di dalamnya,” tambah lelaki murah senyum ini. “Tercatat hingga 300-an gambar ada di dalam goa ini,” katanya.

Tangannya kemudian menunjukan beberapa gambar yang berada agak disudut-sudut ruang goa besar, yang biasa di sebut para penelusur goa sebagai chamber. Bongkah-bongkah batu tampak terserak dimana-mana. Tampak di ujung goa atap makin merendah. Dibagian-bagian yang masih mendapatkan sinar matahari, samar tertera beberapa gambar. Sepintas seperti gambar buatan anak-anak. Membentuk simbol-simbol, seperti kerbau, layang-layang, kuda dan pengendara, serta banyak macam lainnya. “Kata para ahli gambar-gambar ini dibuat dengan menggunakan tanah gamping dan bara,” ceritanya.

Sejenak gambar-gambar itu membentuk keterpanaan. Sejujurnya baru kali ini melihat langsung karya purba seperti ini. Menimbulkan decak kagum, meskipun sejujurnya terus menerka-nerka apa arti sesungguhnya dari seluruh gambar ini. Sebuah simbol atas pemaknaan hidup mereka, atau sekedar nilai seni masyarakat purba yang coba dituangkan seadanya saja.

Leang Metanduno

Leang kedua selanjutnya tak jauh berbeda. Namanya saja yang berbeda, yaitu Leang Metanduno. “Lukisan didalam sini paling hanya berkisar 130 buah jumlahnya,” ucap La Ode memecahkan keheningan suasana.

Kebanyakan lukisan didalamnya juga tak jauh berbeda. Berkisar pada kegiatan sehari-hari yang ada disekitar kehidupan manusia. Tapi semua terlihat seperti terpecah-pecah. Tak menunjukan sebuah kesatuan pesan yang utuh. Dan kebanyakan gambar itu hanya berada di daerah yang masih terkena sinar matahari saja.

“Sebenarnya masih ada lorong-lorong di dalamnya,” jelas La Ode lagi. “Nanti akan terputus pada sebuah danau luas di dalam,” katanya lagi mencoba memberitahu lorong-lorong di dalam Leang Metanduno. Sayangnya karena keterbatasan alat yang kami bawa, tak bisa kami melihat lorong-lorong tersebut.

Baru menjelang gelap kami meninggalkan deretan goa tersebut. Sepintas masih terdengar banyaknya goa lain yang masih belum terjamah. Sebuah kemungkinan baru untuk para petualang mencobanya?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *