Views: 833
Hidup di kota besar kadang membuat kita terkena sindrom individualistis. Dengan tetangga di samping rumah saja kadang tak saling mengenal. Berlibur adalah upaya untuk berpindah dari kebiasaan sehari-hari. Mengunjungi rumah panjai (panjang) di Kalimantan Barat, masuk kategori paling masuk akal, bila ingin berlibur dari perasaan kesendirian, akibat sindrom individualistis tersebut.
Pada dasarnya manusia bukan mahluk tipe solitaire atau sendiri. Dengan kodratnya, manusia ditakdirkan untuk selalu hidup bersama. Berkelompok-kelompok, bahu membahu mengatasi berbagai masalah.
Namun dikota besar, yang lengkap dengan segala fenomena sosial perubahan, naluri berkelompok seperti terendam di dasar pemikiran. Kita dipaksa untuk mandiri semampu-mampunya. Orang lain, secara individu, telak merupakan orang lain. Bukan siapa-siapa, bahkan bukan orang yang ingin kita kenal secara dekat. Orang lain adalah seseorang yang dijauhkan. Orang lain seperti tak nyata.
Tapi tak seperti itu bila kita sempat mengunjungi kawasan adat Utik di Kabupaten Kapuas Hulu. Orang – orang dayak Iban yang ada di dalamnya, seperti layaknya satu orang saja didalamnya. Meskipun hidup dalam 38 bilek (bilik) kamar, di dalam sebuah rumah adat sepanjang 150 meter, rumah panjai Utik mampu menampung makna kebersamaan 245 warganya dalam arti yang paling murni.
Bagaimana tidak, setelah beberapa hari berada didalamnya, terbukti kalau gotong royong dan kebersamaan merupakan gambar sehari-hari yang ada disana. Mulai dari pertama kali menjejakan kaki saja, sekumpulan senyum ramah sudah menghadang. Sepertinya kedatangan orang baru, bukanlah beban.
Fenomena itu mungkin karena kebiasaan mereka bersama. Tak percaya rasanya, bila melihat berkelompok-kelompok orang berbincang di ruang terbuka di depan bilek, yang masih termasuk bagian dalam rumah. Dengan dasar keseluruhan kayu, rumah panjai ini menyisakan sekitar dua meter alasnya diatas tanah. Balok-balok kayu ulin, jelas menahan keseluruhan rumah kayu panjai setinggi paling tidak 15 meter ini. Dengan lebar beranda enam langkah kaki, para lelaki berkumpul dan berbincang bersama.
Bila masuk ke dalam bilek, terlihat tiga ruang besar tercipta menjulur ke bagian belakang. Ruang pertama di bilek, biasanya dipakai sebagai ruang tamu plus tikar dan kasur yang terlipat. Ada juga beberapa guci, gamelan, foto-foto, lemari, dan harta identitas pemilik bilek. Di ruang pertama ini juga ada sebuah pintu kecil, yang menghubung antara satu bilek, dengan bilek yang lain. Seakan, satu atau dua keluarga penghuni bilek saling terhubung satu sama lain. Kata Pak Janggut, Tetua adat rumah panjai ini, pintu-pintu kecil itu berguna apabila ingin membantu bila ada yang sakit di bilek tetangga. “Dahulu pintu kecil itu juga dipakai sebagai jalan keluar rahasia bila ada serangan musuh,” cerita Pak Janggut.
Ruang kedua biasanya tak berisi banyak barang umum, mungkin lebih bersifat pribadi. Sementara ruang paling belakang bilek, merupakan dapur. Sementara loteng kadang dipakai untuk tidur tamu, atau penyimpan beras.
Di luar, sekelompok wanita, tampak sibuk bersama memasak atau mencuci. Jemuran baju berenteng di beranda paling luar yang terbuka. Wanita-wanita itu tampak tertawa-tawa riang, membahu memasak untuk para tamu yang datang mengunjungi rumah mereka. Sepertinya memang mereka menanti kebersamaan, yang akan tiba tiap-tiap hari dimuka. Menanti anda juga, yang bersusah payah menempuh jarak menuju Pontianak hingga Putussibau. Kemudian menaiki kendaraan menuju Utik, selama dua jam, yang seperempatnya merupakan jalan batuan. Untuk bisa menikmati liburan dari sindrom individualistis perkotaan, dan kembali menghirup nilai kebersamaan.
+ There are no comments
Add yours