Views: 6
Di pagi yang masih berkabut di Desa Penglipuran, suara ayam berkokok bersahut-sahutan di antara rumah-rumah tradisional berdinding bambu. Turis-turis mulai berdatangan, memotret jalan berbatu yang bersih dan rapi, dan memuji suasana “otentik” yang seolah membawa mereka kembali ke masa lalu.
Namun di balik senyum para warga yang menjual kerajinan tangan, ada pertanyaan yang menggelayut: masihkah desa wisata Bali benar-benar milik warganya sendiri?
Sebuah penelitian yang baru dipublikasi 4 Oktober 2025 mengungkap kenyataan yang mengkhawatirkan: banyak desa wisata di Bali yang dulu menjadi kebanggaan kini tengah kehilangan arah — terjebak di antara keinginan untuk tetap menjaga budaya dan tekanan modernisasi yang melaju cepat.
Dari Semangat Gotong Royong ke Lomba Proyek Cepat Jadi
Pariwisata desa di Bali dahulu lahir dari semangat gotong royong. Warga membuka rumah untuk tamu, memperkenalkan tarian, makanan, dan tradisi mereka kepada dunia. Tapi seiring waktu, program desa wisata berkembang menjadi proyek-proyek besar yang dikejar untuk angka dan prestasi.
“Banyak desa wisata dibentuk terlalu cepat — tanpa persiapan, tanpa rencana jangka panjang,” ujar I Nyoman Sukma Arida, peneliti dari Universitas Udayana yang memimpin studi berjudul Deconstructing the Myths of Village Tourism in Bali.
Ia menyebut kondisi saat ini sebagai “krisis eksistensi”: desa wisata yang dulu tumbuh karena semangat komunitas, kini berjalan tanpa arah karena tekanan politik, minim inovasi, dan lemahnya pengelolaan.
Pemerintah memang aktif mendorong terbentuknya desa wisata di seluruh Bali. Tapi, banyak di antaranya sekadar menjadi “simbol pencapaian” tanpa kesiapan sumber daya manusia atau strategi pemasaran yang matang. “Papan nama boleh ada, tapi aktivitasnya nihil,” kata salah satu pengelola desa wisata di Gianyar dengan nada getir.
Pariwisata Copy-Paste
Kehidupan masyarakat desa Bali berakar pada adat, spiritualitas, dan alam. Namun pariwisata justru sering menyeragamkan semuanya. Di banyak tempat, wisatawan disuguhi pengalaman yang nyaris sama. Tarian tradisional, kerajinan tangan, dan kuliner khas. Semua menarik, tapi tak lagi unik.
Fenomena ini disebut para peneliti sebagai “pariwisata copy-paste.” Alih-alih menggali potensi khas desa masing-masing, banyak pengelola meniru format desa wisata lain yang dianggap sukses. Hasilnya, desa-desa ini kehilangan jati diri. Sama seperti toko suvenir di pinggir jalan yang menjual barang serupa.
Di sisi lain, pembangunan infrastruktur seperti homestay, kios suvenir, dan balai pertemuan sering kali dilakukan tanpa perencanaan. Beberapa bangunan dibiarkan kosong, atapnya bocor, catnya mengelupas. Menjadi monumen sunyi dari euforia pariwisata yang sempat menggebu.

Digitalisasi yang Tertinggal dan Intervensi Politik
Zaman berubah, wisatawan kini mencari pengalaman melalui ponsel mereka. Tapi sayangnya, banyak desa wisata di Bali yang belum masuk ke ranah digital. Tidak ada situs web, tidak ada sistem pemesanan, bahkan akun media sosial pun jarang diperbarui. Padahal, dunia wisata kini ditentukan oleh visibilitas di layar.
Selain itu, intervensi politik juga memperburuk keadaan. Program desa wisata sering kali diarahkan untuk memenuhi target politik, bukan kebutuhan masyarakat. “Sering kali kami hanya dijadikan contoh keberhasilan,” kata seorang kepala dusun di Bangli. “Tapi setelah acara seremonial selesai, bantuan dan pelatihan ikut hilang.”
Satu hal lain yang membuat rumit. Struktur sosial Bali yang masih berlapis berdasarkan adat dan kasta. Meskipun sistem ini memiliki nilai budaya tinggi, dalam konteks pariwisata, ia kadang menghambat partisipasi yang merata. Beberapa kelompok masyarakat merasa tersisih dari proses pengambilan keputusan. Terutama mereka yang tidak termasuk dalam struktur adat formal.
“Kalau bukan dari keluarga tertentu, suaramu sering tidak didengar,” ungkap salah satu perempuan muda di Desa Tenganan. Akibatnya, banyak potensi kreatif anak muda tidak terakomodasi, padahal mereka memiliki kemampuan digital dan ide-ide segar untuk menghidupkan kembali desa wisata.
Kearifan Lokal Sebagai Titik Balik
Meski begitu, harapan belum padam. Peneliti merekomendasikan model kolaboratif berbasis kearifan lokal. Di mana komunitas, pemerintah, sektor swasta, dan akademisi bekerja bersama. Intinya sederhana, desa harus menjadi subjek, bukan objek pembangunan.
Konsep Tri Hita Karana — keseimbangan antara manusia, alam, dan spiritualitas — diusulkan sebagai fondasi untuk membangun pariwisata yang benar-benar berkelanjutan. Dalam model ini, setiap keputusan harus mempertimbangkan harmoni, bukan hanya keuntungan ekonomi.
Digitalisasi juga perlu dihidupkan kembali, bukan sekadar sebagai alat promosi, tetapi untuk mengangkat cerita lokal. Digital storytelling — kisah-kisah tentang petani, penenun, penabuh gamelan, dan upacara adat — dapat menjadi jendela baru yang memperlihatkan wajah sejati Bali kepada dunia.
Pada akhirnya, masa depan desa wisata Bali bergantung pada keberanian untuk menatap ke dalam — untuk menemukan kembali nilai yang sempat hilang di balik gegap gempita pembangunan.
“Pariwisata desa hanya akan berkelanjutan bila masyarakat menjadi pusatnya,” tegas Nyoman Sukma Arida. “Selama desa menjadi objek dari kebijakan luar, mereka akan kehilangan arah dan identitasnya.”
Kini, di tengah dunia yang semakin seragam, desa-desa Bali dihadapkan pada pilihan, mengejar tren global atau memeluk kembali jati diri lokal. Jika memilih yang kedua, Bali mungkin akan menemukan kembali makna sejati dari kata “wisata”. Perjalanan yang bukan hanya membawa orang datang, tapi juga membawa pulang cerita dan kebijaksanaan. (Sulung Prasetyo)





