hutan dayak iban

Ketika Mitos Iban Menjadi Konservasi

Views: 0

Kabut pagi bergelayut rendah di atas hutan Sungai Utik, Kalimantan Barat. Dari kejauhan, suara burung rangkong menggema melintasi kanopi, sementara sinar matahari menembus sela-sela dahan, berkilau di antara akar-akar panjang yang menjuntai dari sebatang beringin raksasa.

Bagi masyarakat Iban yang tinggal di wilayah ini, pohon seperti itu bukan sekadar bagian dari hutan — melainkan rumah. Bukan rumah bagi manusia, melainkan bagi sesuatu yang lebih tua, tak kasat mata, dan sangat dihormati — roh penjaga.

“Jangan pernah menebang pohon seperti ini sembarangan,” ujar Apai Bujang, seorang tetua adat Iban, dengan suara mantap namun penuh hormat. “Ada yang tinggal di dalamnya. Jika kita mengusiknya, malapetaka akan datang.”

Peringatan itu bukan sekadar cerita rakyat. Ia adalah bagian dari sistem kepercayaan yang selama generasi telah menjaga kelestarian hutan mereka.

Roh-Roh Penjaga Hutan

Ketika para peneliti konservasi tiba di Sungai Utik, mereka terkejut dengan apa yang mereka temukan. Lebih dari 90 persen masyarakat Iban percaya bahwa roh-roh tinggal di dalam beringin besar yang menjerat pohon lain, atau dikenal sebagai strangler fig.

Karena keyakinan ini, warga menolak menebang pohon tersebut, bahkan ketika tumbuh di tengah ladang mereka. Survei lapangan menunjukkan bahwa jumlah beringin di lahan pertanian Iban hampir sama — bahkan sedikit lebih banyak — dibandingkan dengan di hutan primer.

Temuan ini menjadi dasar laporan bertajuk Strangler Figs and Their Spirits: How Indigenous Beliefs and Practices Influence an Iban Landscape, West Kalimantan, Indonesia. Pesannya sederhana namun kuat, keyakinan yang lahir dari tradisi dapat menghasilkan dampak ekologis luar biasa. Tanpa peraturan formal atau patroli kehutanan, hutan mereka tetap lestari berkat iman dan rasa hormat.

Di antara sulur-sulur dan batang pohon yang tertutup lumut, beringin menjadi simbol hidup dari keterhubungan — antara manusia, alam, dan yang tak terlihat.

Menguji Keberadaan Roh Penunggu

Tidak semua beringin diyakini memiliki roh. Dalam tradisi Iban, hanya pohon yang tua dan besar yang dianggap “hidup” secara spiritual. Untuk mengetahui apakah sebuah pohon dihuni roh, warga melakukan ritual yang diwariskan turun-temurun.

Mereka akan menyelipkan sebilah kapak kecil atau parang ke salah satu akar gantung pohon tersebut. Jika alat itu jatuh dengan sendirinya dalam beberapa hari, artinya pohon tersebut dihuni roh — tanda bahwa ia menolak diganggu. Pohon seperti ini dibiarkan tumbuh, sering kali menjadi penanda sakral di lanskap desa.

Sebaliknya, jika kapak tetap menempel, pohon dianggap “kosong” dan boleh dimanfaatkan untuk keperluan tertentu — namun tidak tanpa persembahan sederhana berupa daun sirih, tembakau, atau segenggam beras sebagai bentuk permohonan izin pada roh hutan.

Dalam dunia modern yang menjunjung logika dan sains, ritual semacam ini mungkin terdengar mistis. Namun di hutan Sungai Utik, ritual itu adalah bentuk komunikasi — bukan hanya antara manusia dan roh, tapi antara manusia dan alam.

Jantung Ekologi Hutan

Secara ilmiah, beringin (Ficus spp.) dikenal sebagai keystone species — spesies kunci yang menjaga kestabilan ekosistem. Buahnya menjadi sumber makanan bagi burung, kelelawar, dan primata sepanjang tahun; akarnya memperkuat lereng dan tepi sungai; sementara dahannya memberi tempat hidup bagi berbagai tumbuhan dan serangga.

Namun jauh sebelum istilah ekologi ditemukan, masyarakat Iban sudah memahami kebenaran itu. Mereka mempelajarinya bukan dari buku, melainkan dari pengamatan dan kehidupan berdampingan dengan alam.

“Mereka melihat burung dan monyet selalu datang ke pohon beringin,” kata Ditro Wibisono Wardi Parikesit, peneliti dari Wageningen University. “Mereka tahu pohon ini membawa kehidupan — itulah sebabnya mereka percaya roh tinggal di dalamnya.”

Di Sungai Utik, sains dan spiritualitas berpadu. Keduanya berbicara dengan bahasa berbeda, namun menyampaikan pesan yang sama: hutan harus dijaga.

Hutan yang Bertahan

Sungai Utik adalah salah satu contoh paling luar biasa dari keberhasilan konservasi hutan berbasis masyarakat di Indonesia. Dari udara, wilayah adat mereka tampak seperti pulau hijau luas di tengah bentang lahan yang telah dibuka untuk perkebunan sawit dan tambang.

Masyarakat Iban secara kolektif mengelola lebih dari 9.000 hektare hutan adat dengan sistem perladangan berpindah tradisional yang memungkinkan tanah pulih secara alami. Saat lahan dibiarkan bera (tidak digarap), pohon beringin sering kali menjadi yang pertama tumbuh kembali — menandai awal kembalinya hutan.

“Kalau tidak ada pohon beringin, burung-burung tidak datang,” kata seorang ibu muda sambil menunjuk ke pohon tinggi di tepi ladangnya. “Kalau tidak ada burung, hutan akan sunyi. Dan kalau hutan sunyi, hidup kita pun ikut sunyi.”

Bagi masyarakat Iban, melindungi hutan bukanlah pilihan lingkungan, melainkan kewajiban moral dan spiritual — menjaga keseimbangan antara manusia, roh, dan bumi.

a) Hutan Adat Sungai Utik, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, Indonesia, memperlihatkan kawasan hutan tua (Rimba) dan mosaik pertanian (Damon) beserta jalur transek sampel (berwarna oranye). b) Tahapan pertumbuhan Ficus semi-epifit, yang umum dikenal sebagai beringin penjerat (strangler fig). Pertumbuhannya dimulai dari biji yang menempel pada pohon inang (Tahap 1), kemudian berkecambah dan mengirim akar gantung ke tanah (Tahap 2), lalu mulai membungkus pohon inang dengan akarnya (Tahap 3). Seiring waktu, akar-akar beringin menebal membentuk batang berongga seperti anyaman, menaungi dan akhirnya membunuh pohon inang tersebut (Tahap 4). Pada tahap akhir (Tahap 5), beringin berdiri sebagai pohon mandiri, sering kali berongga di bagian tengah tempat pohon inangnya dulu berada. (Kurniawan dkk., 2022).

Ketika Kepercayaan Menjadi Konservasi

Bagi orang luar, gagasan tentang “pohon berroh” mungkin terdengar seperti takhayul. Namun berbagai penelitian menunjukkan bahwa kepercayaan ini menghasilkan dampak konservasi yang nyata.

Dengan tidak menebang pohon besar yang dianggap dihuni roh, masyarakat Iban secara tidak langsung menciptakan suaka alami bagi keanekaragaman hayati. Burung, kelelawar, dan mamalia pemakan buah bergantung pada beringin, yang pada gilirannya menopang kehidupan spesies lain di ekosistem tersebut.

“Sistem kepercayaan lokal kadang lebih efektif daripada kebijakan konservasi negara,” kata Ditro. “Mereka tidak perlu penegakan hukum, karena rasa hormat terhadap alam sudah tertanam dalam budaya.”

Melalui kepercayaan, masyarakat Iban telah melestarikan sekaligus hutan dan identitas mereka — sesuatu yang kian langka di dunia yang terus berubah menuju modernitas.

Pelajaran dari Pohon Roh

Di bawah kanopi luas pohon beringin, di mana akar-akar melingkari batang pohon lain bak tangan-tangan purba, hutan berdenyut dengan kehidupan yang tenang — dengung serangga, kicauan burung, dan desir angin yang melewati dedaunan. Di sini, batas antara dunia manusia dan dunia roh terasa tipis.

Bagi masyarakat Iban, menghormati pohon berarti menghormati kehidupan itu sendiri. Mereka tidak melihat alam sebagai sumber daya untuk dieksploitasi, melainkan sebagai sesepuh yang harus dihormati dan dijaga.

Mungkin di situlah kebijaksanaan yang terlupakan oleh dunia modern: bahwa menjaga bumi tidak selalu membutuhkan kekuasaan atau kebijakan — kadang hanya membutuhkan rasa hormat.

“Kalau kita menjaga mereka,” kata Apai Bujang, menatap batang pohon besar di hadapannya, “mereka juga akan menjaga kita.”

Dan selama keyakinan itu tetap hidup, akar-akar beringin akan terus memegang tanah, hutan, dan keseimbangan rapuh antara manusia dan dunia yang menopangnya. (Sulung Prasetyo)

Baca juga:

Artikel Dari Penulis Yang Sama

manta ray van gogh

Pari Manta Menyelam Sedalam Tiga Kali Tinggi Menara Eiffel

cerobong asap

Ampas Tebu Ubah Asap Kotor Jadi “Clean Smoke”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *