MENJUAL KAMPUNG KREATIF DAGO ATAS

Views: 0

Seperti ada perasaan déjà vu saat memasuki kampung ini. Lorong panjang gang, dengan rumah-rumah berdempetan. Lebih mirip gang-gang sempit, di perumahan pinggir kali Ciliwung di Jakarta. Jauh dari bayangan indah mengenai kota Bandung, yang katanya diciptakan saat Tuhan sedang tersenyum.

Tapi ada satu yang berbeda. Kampung yang terletak di Dago Atas ini, lebih mirip kampung dipinggir Kali Code, Yogyakarta. Tidak kumuh seperti di Jakarta, tapi berwarna dan sepertinya penuh antuasisme didalamnya.

Antusiasme kreativitas tepatnya. Aura itu bahkan sudah bersicepat masuk ke kepala, saat pertama kali menginjakan kaki dikampung ini. Sebab tepat dipinggir jalan, sebuah etalase toko malah menjadi panggung karya seni instalasi. Tampak empat patung terbuat dari koran, merenung melingkari meja kecil. Mengajak masuk ke dalam makna perenungan absurd, mengenai seni abstraksi lukisan disekelilingnya.

Seni abstraksi lukisan itu yang kemudian mengantar pada gang-gang sempit, dibelakangnya. Tak peduli dengan orang yang bersliweran kesana-kemari, sekelompok anak muda malah berkumpul, sibuk membicarakan sesuatu. Mereka kemudian mengajak berkeliling kampung Dago Atas ini, untuk memahami lebih dalam makna kreatifitas didalamnya.

Selain lukisan-lukisan dan caci maki dalam tulisan, kampung kreatif ini juga menawarkan seni fotografi didalamnya. Bergambar seorang tua yang tampak merenung, atau tawa anak dalam keruwetan kompleksitas kehidupan.

Bergerak lebih jauh kemuka, aura seni makin menggelora. Di rumah seorang musikus ditemukan alat-alat yang jauh dari seni musik modern saat ini. Ada Keprak yang mengeluarkan bunyi seperti air mengalir, membuat perasaan seperti berdesir. Ada Karimbing, berbentuk seperti gitar tapi mengeluarkan bunyi gemuruh yang sanggup membuat kuduk berdiri.

Lebih jauh ke dalam, sederet lukisan mural memenuhi pinggir-pinggir kebun darurat. Mural-mural itu makin berwarna terang, saat mendekati titik terbuka. Habis sudah mural itu memenuhi dinding pagar tinggi, sementara disebrangnya matahari mulai tenggelam diantara lembah bukit.

Salah satu sudut kampung kreatif Dago Atas, Bandung berisi seni instalasi berupa patung dari koran. (dok.sulung prasetyo)

Ujang, orang tua yang sedang sibuk tampak asyik membelah sesuatu. Didepan rumahnya yang sempit, ia terus melakukan gerakan dengan pisau ditangannya.

“Sedang membuat Panggah, untuk cucu saya,” katanya.

Cucu Ujang tampak sibuk memperhatikan. Panggah atau gangsing itu sebentar lagi jadi. Sudah tak sabar sepertinya ia ingin memainkan perangkat tradisional itu. “Sudah jarang anak-anak sekarang mendapatkan mainan seperti itu,” ucap Ujang, usai memberikan Panggah yang sudah rapih kepada cucunya.

Kampung kreatif Dago Atas memang tak hanya menawarkan seni melulu didalamnya. Seni yang turut dapat dinikmati masyarakat didalamnya, salah satu yang sepertinya ditawarkan lebih luas saat ini.

Seperti juga Dadang, yang mengajak lagi pemuda sekitar untuk belajar mengenai pencak silat gaya Jawa Barat. Sore itu setidaknya ada enam muridnya sedang berlatih serius. Masing-masing ada yang melakukan gaya silat secara berkelompok. Sebagian yang lain saling menyerang satu lawan satu.

“Saya tertarik pada seni beladiri pencak silat karena dulu pernah melihat pentas Taliwangsa yang menggunakan seni beladiri didalamnya,” kata Dadang.

Kini seni itu sudah makin memudar. Kemudian diantara keinginan untuk memberikan kontribusi pada masyarakat dan kepentingan pribadi, Dadang membina kembali. Sedikit demi sedikit, lambat laun makin banyak orang tua yang mengijinkan anaknya belajar ilmu beladiri.

Tak hanya mendalami pencak silat, kumpulan anak-anak itu juga bermain didalamnya. Ruang bermain yang tak banyak, karena sempitnya tempat tinggal dapat dihilangkan dilembah bawah Dago Atas ini. Tepatnya dipinggir sungai Cikapundung, mereka bergembira dalam permainan rakyat tradisional. Ada yang sedang mencoba kembali Egrang, sementara yang lain tampak sibuk melompat-lompat dalam permainan lompat batu. Tenggelam dalam kesenangan masing-masing.

Penjual buah di kampung kreatif Dago Atas, Bandung yang berada didepan sebuah lukisan di tembok pinggir jalan. (dok.sulung prasetyo)

Perjalanan hari itu ditutup dengan pentas musik kelompok band pemuda setempat. Dengan menggunakan gitar dan dipadukan dengan kendang, menemani makan bersama. Makan diatas daun pisang dengan ditemani cahaya senja, meninggalkan kesan tersendiri.

Memes, mahasiswa yang menemani selama perjalanan menjelajah kampung kreatif Dago Atas mengatakan baru sekarang-sekarang ini program perjalanan mengelilingi kampung berhasil dilakukan. Program itu tak ditolak Memes sebagai cara untuk mendongkrak pemasukan ekonomi bagi masyarakat sekitar.

“Masyarakat juga senang, karena biasanya ada yang belanja alat musik, kaos, makanan atau kerajinan yang mereka buat,” ujar Memes.

Menurutnya cara itu semata untuk menanggapi keinginan untuk berkiprah lebih dalam bagi masyarakat. Dimana untungnya kini warga Dago Atas menanggapi hal tersebut dengan nada positif. (sulung prasetyo)

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours