Views: 24
Menurut situs pemerintahan, setidaknya terdapat 321 suku asli yang tersebar diberbagai tempat di Papua. Namun jumlah penduduk suku asli tersebut hanya berjumlah 52 persen dari total penduduk yang ada di Papua. Sebanyak 48 persen merupakan orang pendatang dari luar Papua. Menurut data, kaum pendatang tersebut berasal dari Jawa, Bugis, Sunda, Makassar, Buton, Batak, Minahasa, Huli, dan Tionghoa
Dari 321 suku asli Papua, setidaknya ada lima suku besar yang menguasai area Pegunungan Tengah atau Pegunungan Jayawijaya. Ke lima suku tersebut merupakan suku Damal, Dani, Moni, Nduga dan Mee.
Suku Damal
Damalme atau orang Damal dilaporkan pertama kali oleh para penyelidik kontroler Belanda yaitu J.V. de Bruyn, R. den Haan dan J.R. Meyer Ranneft, serta Romo M. Kammerer. Para penyelidik waktu itu mendekati orang Damal dari arah utara, kawasan danau-danau Wisselmeren. Sebelumnya orang Damal pernah dikunjungi dari arah selatan oleh ekspedisi Carstensz dari Inggris di bawah pimpinan Wollaston. Selain juga pada 1936 oleh ekspedisi Carstensz yang dipimpin Dr. A.H.Colijn.
Dr.Colijn menyebut orang Damal dengan nama Enggipiloedal, yang artinya putra-putra Enggipiloe yaitu nama yang juga diberikan oleh suku Moni kepada kawasan Carstensz. Dengan demikian Enggipiloedal berarti putra-putra kawasan Carstensz. Sebutan ini hanya meliputi sebagian dari orang Damal yang hidup di lembah-lembah kawasan Carstensz seperti lembah Singgal (Otakwa), lembah Wa (Koprapoka), lembah Weja (Ajkimuka) di sebelah selatan Carstensz, dan lembah Beoga (Beura atau Beurop) di sebelah utara Carstensz. Menurut kabar penduduk lembah tersebut sangat erat kaitannya dengan salju abadi di atas puncak pegunungan Carstensz, dalam legenda penciptaan manusia pertama.
Suku Moni menyebut orang Damal juga dengan nama Ungunduni yang dalam bahasa Moni artinya “di dalam pagar” yang tidak berarti suku Damal selalu memagari rumahnya karena hal itu praktis tak pernah dijumpai. Kemungkinan yang dimaksud adalah kebiasaan orang Damal memberi sesajen kepada leluhurnya di suatu tempat yang dibatasi pagar.
Ada juga cerita yang menghubungkan orang Damal dengan era penciptaan manusia pertama, yang pada waktu itu menurut legenda manusia pertama berkumpul di atas sebuah gunung yang tinggi dan dingin, dimana mereka duduk bersama mengelilingi api yang dibuat. Jadi, orang Damal dahulu kala mungkin pernah duduk dekat api di tempat yang dibatasi pagar.
Tetapi nama yang mereka berikan kepada dirinya adalah Damalme, me artinya manusia dan nama bahasanya adalah bahasa Damal (Damal-kal). Mereka tinggal di lembah-lembah yang terletak ke utara dan ke selatan pegunungan Carstensz . Di sebelah utara Carstensz, mereka tinggal di Beura (Beoga atau Beurop) dan Iliga, yang juga dikenal sebagai lembah Illop atau Illa. Disini mereka hidup berbatasan dengan suku Dani. Di daerah barat laut Beura terdapat lembah Doegindora, dimana suku Damalme mempunyai wilayah kecil.
Pada kawasan selatan Carstensz, orang Damal hidup di delapan lembah yang terbentang mulai dari bagian hulu sungai Ajkwa di barat, hingga bagian hulu sungai Djots di sebelah timur. Pada sisi pegunungan tengah orang Damal hidup berbatasan dengan suku Moni, dibagian barat dan timur berbatasan dengan suku Taume, sedangkan bagian selatan berbatasan dengan penduduk pantai, yaitu suku Mimika atau Kamoro.
Mata pencaharian adalah berburu dan bertani. Seperti suku-suku lain di pegunungan, orang Damal adalah petani dan pengumpul buah-buah yang tumbuh di hutan serta beternak babi. Daging babi disembelih pada hari tertentu seperti upacara melahirkan dan kematian, perkawinan, panenan, penyelesaian hutang perang dan upacara persembahan kepada leluhur.
Wilayah ini pada tahun 2000 statusnya berkembang menjadi daerah otonom yang sulit dicapai lewat darat, yang bergunung tinggi dan berlembah curam bergantung pada sarana transportasi udara. Kabupaten ini sebagian besar dihubungkan oleh angkutan udara dari Sentani-Jayapura, Nabire, Wamena dan Timika. Penerbangan komersial yang melayani ialah Merpati Nusantara, Trigana Air Service dan Mimika Air serta pesawat milik gereja, Mission Aviation Fellowship (MAF).
Suku Mee
Sekitar akhir tahun 1930-an Belanda mencapai Kabupaten Paniai. Pencapaian tersebut menjadi babak baru pertemuan antara masyarakat asli-suku Mee di bagian barat dan suku Moni di bagian timur dengan orang luar. Melalui ekspedisi di bawah pimpinan Pastor H. Tillemans pemerintah Belanda mendirikan pos misi atau disebut juga pos pemerintahan di Enarotali.
Ubi jalar yang dalam bahasa Mee disebut “Nota” menjadi makanan utama penduduk. Ubi jalar “Nota” lazim dimasak dengan cara yang sangat khas, yaitu bakar batu atau dikenal dengan istilah barapen. Tehnik memasak ini lazim digunakan oleh masyarakat pegunungan tengah Papua.
Batu yang membara sehabis dibakar, digunakan untuk mematangkan “Nota” yang ditutup daun. Hingga kini belum ada industri kecil atau industri rumah tangga yang mengolah nota menjadi kripik, dodol tepung, atau dikemas dalam bentuk lain yang tahan lama.
Dalam kondisi normal kebutuhan nota dipenuhi dari hasil panen lokal, jika terjadi banjir atau kekeringan. Pada saat banjir, pohon-pohon tergenang air dan akhirnya membusuk. Sebaliknya, di kala kering pohon-pohon mati kekurangan air. Yang terjadi kemudian adalah kekurangan pangan.
Daerah bersuhu rendah dan berkelembaban tinggi seperti Paniai, tak banyak tanaman pangan yang bisa tumbuh seperti padi atau kelapa. Pertanian masih dilakukan dengan pola tanam yang sangat sederhana, meski lahan pertanian sudah menetap. Bukan cangkul apalagi traktor yang digunakan, melainkan kayu yang menjadi andalan pengolahan lahan pertanian. Kayu dianggap lebih cepat menghancurkan tanah. Di sini peran wanita petani sangat besar karena setelah petani pria membuka lahan, urusan bercocok tanam selanjutnya sepenuhnya tanggung jawab petani wanita.
Pengangkutan barang dan komunikasi dari dan ke Paniai selama ini melalui Kabupaten Nabire dengan moto Paniai “aweta ko enaa agapida me”, artinya hari esok lebih baik dari hari ini, setidaknya menunjukkan semangat untuk mencapai kemakmuran dan kemajuan di masa mendatang.

Suku Moni
Banyak tetua suku Moni di desa Ugimba percaya kehidupan mereka berawal dari keturunan suku Dani. Menurut mereka ratusan tahun lalu, banyak orang dari suku Dani yang suka melintas Pegunungan Tengah Papua. Banyak dari pelintas tersebut yang kemudian berpindah ke daerah utara, dimana suku Moni sekarang menetap. Hingga kemudian lahir suku Moni yang menguasai wilayah perburuan bagian utara dan barat laut Pegunungan Tengah Papua.
Hingga kini masih banyak keturunan suku Dani yang masih mempertahankan gen leluhur mereka, ketimbang menjadi orang Moni asli. Perbaruan tersebut kini menjadikan orang-orang di suku Moni merupakan keturunan campuran.
Suku Moni hingga tahun 70-an masih dianggap daerah terisolasi. Dalam catatan di laporan penelitian Carstensz Glacier Expedition (CGE) oleh Universitas Nasional Australia (Australian National University/ANU), daerah Ugimba sempat disebutkan namun disebut masih didaerah terpencil.
Hingga tahun 90-an wilayah suku Moni yang berhasil ditembus berada di area Sugapa. Baru awal 2000-an, daerah Suanggama yang merupakan wilayah suku Moni juga, berhasil dijadikan titik awal pendakian ke Carstensz. Sementara daerah Ugimba yang menjadi sentral kehidupan suku Moni justru terus terkurung dalam keterkucilan.
Terakhir tahun 2015 diketahui suku Moni masih hidup dengan berladang. Makanan utama didapatkan melalui ketela dan ubi. Sementara daging didapatkan dari peternakan babi, dan perburuan satwa hutan seperti Kangguru pohon atau Kuskus.
Hingga terakhir suku Moni terus berbenah. Banyak perubahan terjadi semenjak desa Ugimba dijadikan salah satu desa wisata oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Namun diantara perubahan tersebut, sebagian besar warga suku Moni di Ugimba tetap mempertahankan budaya leluhur mereka.
Suku Nduga
Diantara barisan gunung-gunung batu dengan lereng-lereng yang terjal dan lembah-lembah kecil disekitarnya adalah wilayah pemukiman penduduk pedalaman Pegunungan Tengah. Jumlah penduduk diwilayah ini tergolong sangat padat, dibandingkan jumlah penduduk wilayah lainnya di Papua. Terdapat kelompok masyarakat yang menamakan dirinya orang Nduga, mereka bermukim secara terpisah-pisah di balik selatan lereng pegunungan Jayawijaya.
Nduga berasal dari kata Ndawa berarti orang yang hidup dari hasil buruan diantara lubang-lubang batu dibalik selatan pegunungan Jayawijaya. Mereka sendiri tidak suka dengan istilah itu karena dianggap suatu penghinaan.
Mereka menyebut dirinya sesuai nama lokasi dimana mereka bermukim akan tetapi nama itu kemudian terjadi perubahan intonasi sehingga menjadi Nduga. Bahasa mereka tergolong dalam bahasa non-Austronesia, ada empat dialek tersebar pada beberapa wilayah yaitu Hiburzt, Tundu,Tumbut dan Suburu. Bahasa pengantar diwilayah ini umumnya menggunakan bahasa lokal.
Mapendum, juga merupakan wilayah bermukim suku Nduga. Pada umumnya penduduk ini seperti suku-suku terasing lainnya di Papua yang belum mengenal pemerintahan, lambang negara, bendera dan lain-lainnya. Mereka pun belum mengenal nama-nama pejabat negara termasuk pemerintahan Negara Republik Indonesia sendiri.
Para misionaris lebih dikenal karena melakukan misi penginjilan kepada warga pedalaman sejak pra-kemerdekaan Indonesia. Tak aneh bila mereka lebih mengenal Pendeta Andrean van Dor Nijl, misionaris yang sudah 54 tahun bertugas di sana dibanding pejabat pemerintah.
Makanan utama warga suku Nduga adalah hipere atau sejenis ubi-ubian yang dibakar. Nasi merupakan makanan langka, tanaman padi belum dikenal. Pertanian mereka masih mengandalkan hujan dan kadang-kadang mereka makan nasi yang diterima dari para misionaris.

Suku Dani
Perkampungan suku Dani pertama kali diketahui berada di Lembah Baliem sekitar ratusan tahun lalu. Banyak eksplorasi di dataran tinggi pedalaman Papua yang dilakukan, salah satunya adalah ekspedisi Lorentz tahun 1909-1910 oleh pemerintah Belanda, tetapi ekspedisi ini tidak beroperasi di Lembah Baliem.
Kemudian penyelidik asal Amerika Richard Archold sekitar 1935 pertama kali mengadakan kontak dengan suku Dani, kemudian diketahui juga bahwa suku adalah petani yang terampil dan telah menggunakan kapak batu, alat pengikis, pisau yang terbuat dari tulang binatang, bambu atau tombak kayu dan tongkat galian.
Pengaruh Eropa yang dibawa para Missionaris telah membangun pusat misi Protestan di Hetegima Wamena sekitar 1955. Setelah Belanda mendirikan kota Wamena maka agama Katholik mulai masuk didaerah ini.
Suku Dani masih banyak mengenakan “koteka” (penutup penis) yang terbuat dari kunden kuning dan para wanita menggunakan pakaian wah berasal dari rumput/serat dan tinggal di “honai-honai” (gubuk yang beratapkan jerami/ilalang). Upacara-upacara besar dan keagamaan, perang suku masih dilaksanakan (walaupun tidak sebesar sebelumnya).
Walaupun telah menerima agama Kristen, banyak diantara upacara-upacara mereka masih bercorak budaya lama yang diturunkan oleh nenek moyang mereka. Suku Dani percaya terhadap rekwasi, sebuah upacara keagamaan diiringi dengan nyanyian, tarian dan persembahan terhadap nenek moyang. Peperangan dan permusuhan biasanya terjadi karena masalah pelintasan daerah perbatasan, wanita dan pencurian.
Para prajurit memberi tanda juga terhadap mereka sendiri dengan babi lemak, kerang, bulu-bulu, kus-kus, sagu rekat, getah dari pohon mangga dan bunga-bungaan, mempersenjatai diri sendiri dengan tombak, busur dan anak panah. Di dalam masyarakat Suku Dani jika salah seorang menjadi manusia buangan karena melanggar tabu, ia biasanya dihina/ diejek oleh warga yang lain pada pertemuan adat, ia harus membayar denda. Sambil mereka bekerja di ladang atau pergi berburu mereka bernyanyi dengan ekspresi heroik atau kisah yang menyedihkan. Alunan suara dari lagu itu mendorong mereka dalam bekerja. Alat musik yang mengiringi lagu disebut Pikon. Sepanjang perjalanan berburu Pikon diselipkan kedalam lubang yang besar dikuping telinga mereka. Dengan Pikon tanda isyarat dapat dikirim dengan berbagai suara yang berbeda selama berburu untuk memberi isyarat kepada teman atau lawan di dalam hutan.
Suku Dani sebagian besar memeluk agama Kristen dan lainnya agama Islam, tetapi beberapa penduduk yang berada di tempat yang lebih terpencil di daerah bukit-bukit masih berpegang teguh kepada kepercayaan yang ditinggalkan oleh nenek moyangnya.
Dengan pemahaman terhadap etnik di Papua, kita bisa menelusuri kelompok suku yang banyak terdapat di jalur pendakian Carstensz. Untuk jalur pendakian dari Ilaga, dominasi suku Dani memiliki prosentase tertinggi.
Sementara dari jalur Ugimba dan Suanggama, kebanyakan penduduk berasal dari suku Moni. Terdapat juga sebagian kecil keturunan suku Dani yang hidup di desa-desa sepanjang jalur pendakian. Hanya jalur pertambangan PT Freeport Indonesia yang memiliki warga penduduk asli sangat variatif. Mengingat kebanyakan pekerja di Freeport diusahakan merupakan warga asli sekitar. (Sulung Prasetyo)
Catatan editor : artikel diatas merupakan bagian dari buku Carstensz I’m Coming yang telah diterbitkan Lingkar Bumi sejak tahun 2018.
+ There are no comments
Add yours