Views: 290
Suku Moni terus berbenah, mereka berusaha mencari kepastian jati diri dalam perubahan budaya.
Suku Moni merupakan salah satu penguasa di kaki Pegunungan Tengah Papua. Mereka merupakan lanjutan dari suku Dani, yang memiliki populasi dominan dan menyebar ke wilayah lain.
Dalam rentang waktu ratusan tahun, suku Moni saat ini seperti berada ditengah-tengah antara ancaman dekadensi moral dan politik. Sebagai anak bangsa, suku Moni kini harus dijembatani agar bisa meraih kecerahan, dan bukan terjerembab dalam keterpurukan moral dan politis membabi buta.
Ratusan tahun lalu, penduduk suku Dani yang berada diwilayah timur laut Pegunungan Tengah sangat senang mengembara. Salah satu tujuan pencarian mereka merupakan sumber-sumber garam. Dengan segala kemampuan mereka mencari, bahkan hingga melintas pegunungan bersalju diselatan Ilaga, dan menembus hingga mencapai Timika.
Beberapa orang suku Dani yang lain, justru membelok ke arah utara, saat menemui gunung bersalju. Mereka yang kini menempati bagian utara hingga Pegunungan Tengah Papua. Dalam perjalanannya, bagian suku Dani tersebut merubah diri menjadi satu suku baru, demikian nama baru suku Moni lahir ditanah Papua.
Demikian Aser Tipagau, Kepala suku Ugimba menjelaskan asal-usul suku Moni. Matanya yang mulai rabun, terlihat mengerjap-ngerjap. Didalam rumah Honai yang penuh asap, mata itu seharusnya terlatih dengan perih. Kini mata itu mengalah pada usia, dan Aser hanya bisa meraba-raba mengambil sesuatu.
Terlihat kemudian ditangannya beberapa biji kerang dengan rongga besar dipunggungnya. Diantara rongga tersebut terlihat garis emas melintas. Ia menyebut barang itu kulit bia. Semacam tanda perdagangan, atau alat mata tukar dimasa purba Papua.
Kulit bia yang dinamakan Bailabaqa itu yang menjadikannya pantas menjadi Kepala suku. “Itu tanda ia dipercaya menjadi kepala suku, Bailabaqa diberikan dari ayahnya secara turun temurun,” urai Aser.
Tipagau sendiri merupakan salah satu marga terbesar dikalangan orang Moni. Saat menjumpai mereka pertengahan Agustus 2015 lalu, orang Tipagau masih memiliki turun temurun yang dominan di Ugimba.
Marga lain yang besar di suku Moni merupakan marga Kobagau. Salah satu temurun Kobagau, yaitu Kornelis Kobagau kini menjadi Kepala Pemerintahan Distrik Ugimba. Ia memerintah didelapan desa yang ada di distrik Ugimba. Saling terkait satu sama lain, dan memiliki kepentingan yang sama dalam membangun desa.
Kelompok lain yang juga berpengaruh, merupakan keturunan suku Dani yang belum melepaskan marga nenek moyang mereka. Orang Dani di Ugimba menjadi sangat berpengaruh karena sejarah dan kepiawaian dalam berperang.
Dekadensi Politik
Saat menemui orang Dani di Ugimba, aroma konflik sangat kental terasa. Kelompok orang Dani yang jelas merasa terganggu dengan kedatangan orang baru tanpa keterangan terlebih dahulu. Mereka bertindak bak penjaga desa Ugimba. bersikap kaku keras, dan siap bertempur dengan siapa saja.
Pemikian orang Dani yang demikian sepertinya berasal juga dari sumber asalnya diwilayah timur laut hingga selatan Pegunungan Tengah. Penembakan oleh kalangan separatis Papua (OPM-Organisasi Papua Merdeka) banyak berasal dari kalangan orang Dani. Diperkirakan karena banyak orang Dani tersebar diberbagai belahan lain Pegunungan Tengah, maka wajar bila desa Ugimba juga kemudian dianggap menjadi salah satu basis OPM.
Tapi melihat dasar macam kesukuan yang ada di Ugimba, tak bisa dibilang semua warga pernah terlibat OPM. Mungkin saja ada beberapa orang yang mendukung OPM, namun tak bisa distereotipe semua penduduk desa Ugimba merupakan pendukung OPM.
“Dulu memang OPM pernah menjadikan Ugimba sebagai salah satu desa lintasan setelah menyerang kawasan pertambangan Freeport. Tapi sekarang tidak lagi,” kata Maximus Tipagau, usai perayaan Kemerdekaan Indonesia di Ugimba, setelah 70 tahun tak pernah ada upacara kemerdekaan disana.
Kini Ugimba terus berbenah. Mereka berusaha mencari-cari kepastian jati diri dalam perubahan budaya. Ketika OPM datang mereka menyambut sebagai bintang terang. Namun kini banyak dari warga yang melihat potensi lain. Seperti misalnya kedatangan turis mancanegara yang ingin mendaki gunung Carstensz melewati desa mereka.
“Semua cuma masalah sentuhan yang lebih peka, dan menguntungkan,” kata Maximus lagi.
Ia percaya, dimasa depan orang Moni akan beralih dari perjuangan dengan bintang kejora OPM akan tidak lebih baik, ketimbang mengembangkan desa menjadi daerah tujuan wisata.
Dekadensi Moral
Satu masalah utama dalam pengembangan wisata di desa Ugimba dan suku Moni khususnya perlu dicermati mengenai dekadensi moral. Warga Papua yang tertinggal secara pendidikan dibandingkan daerah lain di Indonesia, tak bisa dipungkiri lagi. Salah satu dampak dari keterbelakangan sangat terlihat pada saat wisata minat khusus pendakian Carstensz dilakukan bersama penduduk desa Ugimba. Mereka yang menjadi porter banyak yang sepertinya tak memiliki keahlian khusus layaknya pemandu perjalanan.
Masalah-masalah sepele seperti air panas, bisa menjadi sumber konflik yang tak perlu terjadi. “Bahkan kalau bisa porter itu tak perlu mengganggu logistik tamu, kecuali darurat sekali,” ujar Hendricus Mutter, salah satu pemandu dari Adventure Carstensz menjelaskan.
Urusan jatah logistik porter yang selalu habis pada saat mencapai basecamp Danau-Danau, juga seharusnya tak perlu terjadi. Apalagi bila pada awal mula perjalanan, sudah disarankan membawa logistik sendiri yang cukup dengan rencana perjalanan plus cadangan.
Masalah lain yang mengemuka merupakan kemampuan porter dalam menjamu tamu. Keahlian mencari air, membuka tenda, mencari jalur yang benar, dan memastikan tempat camp nyaman bagi tamu merupakan beberapa keahlian wajib yang harus dimiliki.
Bentuk intimidasi seperti meminta uang tambahan diperjalanan, seharusnya pula tak perlu dilakukan. Secara professional porter seharusnya memiliki kesadaran telah terikat kontrak mengikuti kegiatan dengan jumlah kompensasi tertentu. Masalah tambahan kompensasi, akan diberikan bilamana dianggap layak dan dengan kesepakatan bersama.
Kebiasaan buruk lain yang berlaku dikalangan porter adalah meminta barang-barang milik tamu, atau bahkan yang lebih parah memakai langsung barang-barang milik tamu, dengan atau tanpa maksud memiliki.
Saya dan Ardhesir Yeffatebi merasakan juga masalah tersebut. Tiba-tiba raincoat milik saya yang sedang dijemur, sudah dipakai oleh salah satu porter. Rasanya sungkan saya meminta kembali, sambil melihat matanya saya bilang agar ia menjaga raincoat yang dipakainya itu.
Kesempatan lain, ada porter yang meminta baju-baju. Secara sadar memang harus diakui para porter belum memiliki baju yang baik. Kebanyakan kotor kumal, dan seperti sudah lama tak diganti. Mereka juga tak memiliki pakaian standar untuk pendakian gunung. Sehingga pantas bila baju-baju banyak kemudian diberikan kepada mereka, pada akhir kegiatan.
Sementara Ardhesir juga mengalami pengalaman yang unik. Mendadak sepatunya hilang, karena dipakai oleh salah satu porter. Hingga ia akan memakai sepatu itu untuk mendaki gunung salju di Papua, justru porter yang memakai sepatu tak kunjung terlihat. Maka gagal ia memakai sepatu kesayangan itu, dan hanya bisa mendesah panjang didalam tenda. (sulung prasetyo)