Views: 15
Bayangkan kamu sedang duduk di dalam pesawat glider. Mesin tak berbunyi, hanya suara angin yang menderu, dan kamu melayang di ketinggian ribuan meter. Lalu tiba-tiba, seseorang membuka kanopi kokpit, merangkak keluar, dan mulai memanjat… sayap pesawat.
Kedengarannya mustahil. Tapi itulah yang dilakukan Domen Škofic, pemanjat asal Slovenia yang dikenal sebagai salah satu atlet panjat terbaik di dunia. Bersama tim Red Bull dan pilot Blanix, ia mewujudkan mimpi aneh sekaligus gila. Menjadikan langit sebagai dinding panjatnya. Proyek ini diberi nama Plane Climb.
Dari Tebing Menuju Langit
Domen bukan orang sembarangan di dunia panjat. Ia pernah jadi juara Piala Dunia Lead Climbing pada 2016, dan ratusan rute sulit di tebing Eropa sudah berhasil ia taklukkan. Tapi dalam hati kecilnya, ada keresahan. Panjat dinding atau tebing sudah biasa. Kompetisi pun sudah kenyang ia jalani. Ia butuh sesuatu yang baru, sesuatu yang bahkan orang lain tak pernah berani membayangkannya.
Saat itulah ide ini muncul: bagaimana kalau memanjat di udara?
Tentu saja, ide gila ini tak bisa langsung dieksekusi. Butuh tim, butuh pesawat khusus, dan butuh otak cerdas untuk mengubah fantasi jadi kenyataan. Red Bull langsung kepincut. Bagi mereka, proyek yang tak masuk akal justru punya daya tarik besar.
Ayah, Anak, dan Sayap Pesawat
Hal yang menarik, orang yang paling banyak membantu Domen bukan hanya pilot atau teknisi pesawat, tapi… ayahnya sendiri, Pavel Škofic. Pavel adalah seorang insinyur, dan dialah yang merancang pegangan (holds) yang dipasang di sayap pesawat.
Tantangannya luar biasa. Pegangan itu harus kuat menahan beban climber plus gaya angin kencang, tapi tidak boleh merusak struktur sayap. Kalau salah desain, bisa-bisa sayap pesawat patah atau aliran udara terganggu.
Akhirnya, tercipta pegangan yang sanggup menahan beban lebih dari 1,2 ton. Bayangkan, sepotong kecil plastik dan logam yang ditempel di sayap pesawat ternyata bisa sekuat itu. Pavel memastikan desainnya halus, supaya tak menciptakan turbulensi. Jadi, selain kekuatan, aerodinamika pun ikut dihitung.
Domen sendiri ikut menguji coba pegangan ini di darat. Ia memanjat di atas pesawat yang masih parkir, berulang kali, hingga hafal setiap posisi tangan dan kakinya. Semua detail dipelajari, bahkan bagaimana pesawat akan terasa ketika berguncang di udara.
Latihan di Angin Dingin
Setelah teknis beres, tibalah waktunya latihan serius. Domen harus membiasakan diri dengan situasi yang jauh berbeda dari panjat tebing biasa.
Pertama, angin. Pesawat glider terbang di kecepatan sekitar 80–100 km/jam. Itu artinya, saat ia merangkak keluar kokpit, tubuhnya langsung diterpa angin sekencang badai. “Rasanya seperti panjat di depan kipas raksasa,” kata Domen sambil tertawa kepada media redbull.
Kedua, suhu. Di ketinggian 2.500 meter, udara sudah dingin menusuk. Tambahkan hembusan angin, maka sensasi dingin yang terasa bisa sampai minus. Tangan dan jari—senjata utama pemanjat—mudah sekali mati rasa. Sekali slip, tamatlah cerita.
Ketiga, faktor mental. Tidak ada pemanjat waras yang terbiasa memanjat di atas permukaan logam licin, sambil melayang ribuan meter di atas tanah. Setiap langkah adalah taruhan besar.

Hari Gila Itu
Lalu tibalah hari eksekusi. Pesawat Blanik L-13, glider yang dimodifikasi tim Red Bull Blanix, diterbangkan di langit Aigen im Ennstal, Austria. Ketinggian mencapai 2.500 meter. Domen duduk di kokpit belakang, mengenakan parasut seberat belasan kilo sebagai pengaman.
Pilot Ewald Roithner membawa pesawat ke jalur yang stabil. Angin berdesir kencang, tapi cuaca cukup bersahabat. Setelah semua siap, Domen membuka kanopi. Dari kursinya, ia perlahan merangkak keluar. Bayangkan momen itu: dunia di bawahnya hanya berupa ladang dan pegunungan kecil, sementara ia menggenggam sayap pesawat yang meluncur di udara.
“Begitu keluar, aku tahu tidak ada jalan kembali,” kenangnya.
Rute yang disiapkan bukan sembarangan. Ia membentuk pola angka delapan. Domen harus bergerak dari sayap kiri ke ujung luar, kemudian melintasi bagian bawah fuselage pesawat, dan naik kembali ke sayap kanan.
Bagian paling sulit? Saat ia harus berpindah di bawah pesawat. Angin berputar lebih kencang, ruang sempit, dan setiap detik tubuhnya diguncang turbulensi. Butuh kekuatan penuh dari lengan dan perut untuk menahan posisi.
Kemudian, gerakan paling menegangkan merupakan mantle move dari bawah ke atas sayap kanan. Bayangkan mencoba menarik tubuh melawan arus udara 100 km/jam, di atas permukaan logam licin. Itu momen ketika semua latihan, teknik, dan kekuatan mental diuji habis-habisan.
Percobaan pertama yang dilakukan ternyata gagal. Ia harus terjatuh di titik crux terakhir pemanjatan. Titik paling sulit, karena kekuatan otot tangan sangat terkuras karena jangkauan jauh. Domen terjatuh melayang turun, dengan cadangan parasut dipunggungnya.
Percobaan kedua kembali dilakukan. Kali ini kondisi lebih parah lagi. Bahkan tak lama dari baru permulaan jalur Domen kembali terjatuh. Saat dibawah ia mengatakan otot tangannya terasa sangat dingin sekali. Membuat kaku dan sulit memegang point pegangan.
Hanya satu menit waktu yang dibutuhkan Domen untuk menyelesaikan jalur pemanjatan di tubuh pesawat ini. Tapi satu menit ini seperti lama rasanya. Sampai ia memutuskan percobaan ketiga. Kali ini ia terlihat lebih tenang. Kali ini atau tidak sama sekali, mungkin seperti itu pikir Domen saat memulai pemanjatan kembali.
Kali ini ia berhasil melewati bagian crux terakhir paling sulit. Begitu sampai di titik akhir rute, Domen tahu bahwa ia telah tercatat dalam sejarah. Sebagai pemanjat pertama yang melakukan jalur pemanjatan di tubuh pesawat. Diliputi rasa senang, ia tidak kembali ke kokpit. Ia memilih cara yang lebih dramatis. Dari atas sayap, ia melompat, melakukan backflip di udara, lalu membuka parasut. Dalam sekejap, ia melayang turun, meninggalkan pesawat yang masih terbang tenang di atas.
Mendarat di tanah, Domen teriak kegirangan. Semua yang menonton pun tahu, mereka baru saja menyaksikan sesuatu yang belum pernah ada sebelumnya.

Lebih dari Sekadar Pamer Nyali
Sekilas, aksi ini mungkin terlihat seperti stunt gila semata. Tapi bagi Domen, ini lebih dari itu.
Pertama, ia ingin menunjukkan bahwa panjat bukan olahraga yang kaku. “Dinding panjat bisa di mana saja,” katanya. Batu, tembok beton, atau bahkan sayap pesawat — semua bisa jadi arena eksplorasi.
Kedua, ia ingin membuktikan bahwa mimpi liar bisa diwujudkan, asal ada tekad dan kerja tim. Dari ayahnya yang mendesain pegangan, pilot yang mengendalikan pesawat, sampai teknisi yang memastikan semua aman — semua punya peran.
Ketiga, ini adalah pesan simbolis. Panjat selalu tentang jatuh, tentang risiko. Dengan memilih memanjat di udara, Domen seperti berkata: “Kamu bisa jatuh kapan saja, tapi justru di situlah letak keindahannya.”
Baca juga :
Apa Selanjutnya?
Proyek Plane Climb langsung jadi pembicaraan besar di dunia climbing. Banyak yang terinspirasi, meski tak sedikit pula yang geleng-geleng kepala. “Ini gila,” kata beberapa pemanjat top dunia, termasuk Janja Gambret. “Tapi keren.”
Apakah hal semacam ini bisa jadi tren? Mungkin tidak. Risikonya terlalu besar, logistiknya rumit, dan biayanya fantastis. Tapi sebagai simbol bahwa batas olahraga bisa terus didobrak, Plane Climb sudah menorehkan sejarah.
Domen sendiri tidak berhenti. Ia terus mendaki, terus berkompetisi, dan terus mencari ide gila berikutnya. “Aku tidak tahu apa yang akan datang setelah ini,” katanya sambil tersenyum. “Tapi satu hal pasti, aku selalu mencari sesuatu yang membuatku merasa hidup.” (Sulung Prasetyo)





