Views: 23
Pada suatu pagi di awal Januari 2025, warga Bengkulu dikejutkan dengan penemuan jasad seorang pria bernama Ibnu Oktavianto. Tubuhnya tergeletak tak bernyawa di perkebunan sawit, tubuhnya menunjukkan bekas luka mencurigakan. Belakangan, aparat menyimpulkan bahwa kematiannya kemungkinan besar disebabkan oleh serangan harimau Sumatra.
Ibnu bukan satu-satunya. Dalam beberapa tahun terakhir, konflik antara manusia dan harimau di Pulau Sumatra kian meningkat. Harimau terlihat semakin sering memasuki wilayah manusia—mendekati kebun, desa, bahkan barak pekerja. Ketegangan pun menyebar cepat, mengubah rasa takut menjadi amarah. Di beberapa tempat, masyarakat membalas. Harimau diburu, dijerat, bahkan dibunuh.
Namun di balik serangkaian konflik ini, sebuah pertanyaan mengemuka: Siapa sebenarnya yang lebih kejam? Manusia atau harimau?
Serangan Harimau
Sejumlah kasus kematian akibat serangan harimau memang tercatat secara resmi. Di Lampung Barat, dua warga tewas diserang harimau hanya dalam dua bulan pada akhir 2024. Di Siak, Riau, seorang pekerja luka-luka karena digigit harimau yang diduga kelaparan. Data di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan menunjukkan bahwa antara 2008 hingga 2015, tercatat empat warga tewas dan beberapa lainnya luka berat karena konflik dengan harimau.
Bagi masyarakat sekitar kawasan hutan, serangan harimau bukan lagi sekadar cerita legenda. Ia nyata dan menakutkan. Tidak mengherankan jika sebagian dari mereka memilih memasang jerat babi hutan di kebun, bukan hanya untuk melindungi tanaman, tetapi juga sebagai bentuk pertahanan diri.
Namun perangkap itu sering kali menjadi bumerang. Harimau yang tak bersalah justru menjadi korban. Di Aceh, pada tahun 2021, tiga harimau Sumatra—satu induk dan dua anaknya—ditemukan mati mengenaskan dalam satu perangkap. Jerat yang semula ditujukan untuk babi hutan justru menjadi kuburan bagi satwa langka ini.
Manusia Merampas Habitat
Bagi para ahli, konflik ini tidak terjadi secara tiba-tiba. Sunarto, seorang ekolog satwa liar dari Institute for Sustainable Earth and Resources Universitas Indonesia (ISER UI), menjelaskan bahwa penyebab utama konflik adalah degradasi habitat harimau. Ketika hutan diubah menjadi kebun sawit, ladang, atau tambang, harimau kehilangan rumah dan sumber makanannya. Harimau jantan muda yang belum memiliki wilayah sendiri pun terpaksa menyusuri perkampungan untuk bertahan hidup.
“Harimau itu tidak tiba-tiba menjadi buas,” kata Iding A. Haidir, Ketua Forum Harimau Kita, katanya pada dilansir melalui kompas.com. “Mereka hanya mempertahankan hidup karena habitatnya dirusak manusia.”
Data dari WWF Indonesia menunjukkan bahwa sejak 2001 hingga 2016, telah terjadi lebih dari seribu insiden konflik harimau dengan manusia di Sumatra. Dalam periode itu, setidaknya 130 harimau terbunuh atau dipindahkan. Rata-rata delapan harimau mati setiap tahun akibat jerat, perburuan, atau dibunuh karena dianggap berbahaya.
Ironisnya, jumlah populasi harimau Sumatra kini diperkirakan tak sampai 500 ekor. Artinya, setiap kematian adalah kehilangan besar yang bisa mengancam kelangsungan spesies.

Kemarahan Warga
Di sisi lain, masyarakat yang tinggal dekat hutan merasa seolah dibiarkan berhadapan sendiri dengan bahaya. Pada Maret 2024, warga di Suoh, Lampung Barat, membakar kantor Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) setempat. Pemicunya: kematian seorang warga akibat serangan harimau, dan kekecewaan atas respons lamban aparat.
Kemarahan itu mungkin bisa dimengerti, tapi reaksi semacam ini justru memperkeruh persoalan. Harimau yang hanya berusaha bertahan hidup dianggap musuh. Bahkan ada warga yang secara terbuka mengatakan siap memburu harimau jika aparat tidak segera bertindak.
Padahal, sebagaimana dijelaskan oleh para ahli, solusi jangka panjangnya justru terletak pada konservasi: perlindungan habitat, edukasi masyarakat, dan pendekatan berbasis komunitas.
Siapa yang Lebih Kejam?
Pertanyaan itu akhirnya harus dijawab dengan jujur. Jika dilihat dari jumlah korban, manusia memang tidak terlalu banyak kehilangan nyawa akibat harimau—paling tidak hanya belasan orang dalam satu dekade terakhir. Tapi harimau? Mereka kehilangan ratusan saudara. Habitat mereka dihancurkan, tubuh mereka dijadikan pajangan, tulangnya dijual di pasar gelap.
Jika kejam berarti membunuh tanpa sebab yang kuat, atau merusak rumah makhluk lain demi keuntungan pribadi, maka manusia lah pelakunya. Harimau hanya menyerang ketika ia merasa terancam, lapar, atau kehilangan jalan kembali ke hutan.
Harapan dari Generasi Muda
Meski situasi tampak suram, masih ada secercah harapan. Organisasi seperti WALHI, WWF, dan Forum Harimau Kita terus berjuang memulihkan habitat dan membangun kesadaran. Beberapa sekolah kini mulai mengajarkan pentingnya konservasi. Generasi muda pun mulai bersuara.
Boy Jery Even Sembiring dari WALHI Riau mengatakan, “Generasi muda adalah ahli waris lingkungan. Mereka harus menjaga keberlangsungan harimau, karena itu juga menjaga keseimbangan kehidupan.”
Pada akhirnya, konflik manusia dan harimau bukan soal siapa memangsa siapa. Ini tentang bagaimana kita, sebagai makhluk berakal, bertanggung jawab atas kehidupan lain yang terancam karena ulah kita sendiri. Harimau tidak pernah meminta hutan mereka ditebang. Mereka tidak membuat jerat. Mereka hanya bertahan.
Jika kita terus menyalahkan harimau atas kematian segelintir manusia, sembari membiarkan ratusan harimau mati tanpa pembelaan, mungkin sudah saatnya kita bertanya: siapa yang sebenarnya lebih liar—harimau, atau kita? (Sulung Prasetyo)





