limbah perang rusak lingkungan gaza

Tanah Gaza Menjerit, Limbah Perang Jadi Racun Baru

Views: 5

Konflik berkepanjangan di Jalur Gaza tidak hanya menimbulkan korban manusia dan kerusakan infrastruktur, tetapi juga meninggalkan krisis lingkungan besar yang dapat mengancam kehidupan jangka panjang warga. Hal itu diungkapkan dalam penelitian terbaru yang diterbitkan oleh Naomi L. J. Rintoul-Hynes dalam jurnal ilmiah internasional AMBIO edisi 2025.

Dalam kajian berjudul Pertimbangan Lingkungan untuk Rekonstruksi Pasca-Perang Gaza,” Rintoul-Hynes menegaskan bahwa perang telah menciptakan dampak ekologis yang luas—mulai dari pencemaran air dan tanah, hilangnya lahan subur, hingga rusaknya ekosistem pesisir. Ia menyebut, jika proses rekonstruksi Gaza tidak memperhitungkan aspek lingkungan, maka bencana kemanusiaan akan terus berlanjut dalam bentuk krisis ekologi yang berkepanjangan.

“Kerusakan lingkungan bukan efek samping perang, tetapi konsekuensi yang paling lama bertahan,” tulis Rintoul-Hynes dalam laporannya.

Pencemaran dan Kerusakan Ekosistem Meluas

Hasil penelitian menunjukkan bahwa konflik telah menyebabkan pencemaran berat di wilayah Gaza. Ledakan bom, kebocoran bahan bakar, serta rusaknya fasilitas pengolahan limbah mengakibatkan air tanah terkontaminasi dan air limbah mengalir langsung ke laut.

Kondisi ini memicu peningkatan kadar logam berat dalam tanah dan air, yang dapat membahayakan kesehatan masyarakat serta menurunkan produktivitas pertanian. “Polusi akibat perang sering kali tidak terlihat, tetapi dapat bertahan selama beberapa generasi,” tulis Rintoul-Hynes.

Selain pencemaran, Gaza juga mengalami degradasi dan fragmentasi habitat. Lahan pertanian rusak, pepohonan ditebang, dan kawasan hijau hilang akibat penghancuran infrastruktur. Ekosistem alami terbelah menjadi bagian-bagian kecil yang tidak lagi dapat mendukung keanekaragaman hayati.

“Ketika habitat menjadi terisolasi, spesies tidak dapat bermigrasi, penyerbukan berkurang, dan siklus ekologis terganggu,” kata laporan tersebut.

Pembangunan Kembali Harus Ramah Lingkungan

Rintoul-Hynes menilai bahwa proses rekonstruksi Gaza saat ini cenderung berfokus pada pembangunan fisik, tanpa mempertimbangkan pemulihan lingkungan. Padahal, menurutnya, lingkungan adalah fondasi utama bagi keberlanjutan hidup manusia.

Peneliti ini merekomendasikan agar setiap proyek pembangunan di Gaza mewajibkan adanya penilaian dampak lingkungan (AMDAL), pembersihan limbah berbahaya, serta rehabilitasi lahan dan sistem air. Ia juga menekankan pentingnya melibatkan masyarakat lokal dalam pemetaan dan pemulihan ekosistem.

“Lingkungan bukan terpisah dari kebutuhan manusia—ia justru menjadi dasarnya,” tulisnya.

Penelitian itu juga mengusulkan agar Gaza membangun koridor hijau, sistem energi terbarukan, dan program daur ulang berbasis komunitas untuk mendukung rekonstruksi berkelanjutan. Penggunaan bahan bangunan ramah lingkungan serta penanaman kembali pohon lokal dinilai dapat membantu menahan erosi dan memperbaiki kualitas udara.

Seorang perempuan Palestina duduk di atas puing-puing di apartemennya yang rusak di distrik Khezaa, pinggiran Khan Yunis, Gaza, setelah berminggu-minggu mengalami serangan udara Israel, saat gencatan senjata antara Israel dan Hamas memasuki hari keduanya pada 25 November 2023. (Foto: AFP)

Masalah Lingkungan Melintasi Batas Politik

Menurut laporan tersebut, krisis lingkungan Gaza tidak bisa diselesaikan hanya di dalam wilayah Palestina. Karena letak geografisnya yang berbatasan langsung dengan Israel dan Mesir, pencemaran air dan udara di Gaza memiliki dampak lintas negara.

Rintoul-Hynes menyerukan adanya kerja sama regional dalam bidang pengelolaan lingkungan pasca-perang. Ia juga mengingatkan bahwa bantuan internasional untuk rekonstruksi sebaiknya menyertakan syarat keberlanjutan agar tidak menimbulkan kerusakan baru di masa depan.

“Perdamaian sejati tidak dapat tumbuh di atas tanah yang beracun,” tulisnya dalam kesimpulan laporan.

Meski tantangan besar masih menghadang, beberapa inisiatif lokal menunjukkan harapan. Warga mulai menanam kembali pohon di lahan kosong, membuat taman kecil dari puing-puing bangunan, dan bekerja sama dengan lembaga pendidikan luar negeri untuk memantau kualitas air laut dan tanah.

Rintoul-Hynes menyebut upaya kecil ini sebagai “rekonstruksi mikro” yang berperan penting dalam memulihkan lingkungan dan membangun kembali hubungan manusia dengan alam.

“Setiap tindakan kecil untuk memperbaiki tanah adalah langkah menuju perdamaian,” tulisnya. “Pemulihan sejati bukan hanya membangun dinding, tapi menyembuhkan hubungan antara manusia dan lingkungan.”

Ancaman Jangka Panjang

Peneliti memperingatkan bahwa jika isu lingkungan diabaikan, Gaza berpotensi menghadapi krisis air bersih, gagal panen, dan peningkatan penyakit akibat polusi dan sanitasi buruk. Dampak ekologis ini bisa berlangsung selama beberapa dekade meski konflik bersenjata telah berakhir.

“Ketika perang berhenti, tanah tidak serta-merta pulih,” kata laporan tersebut. “Ia terus membawa luka yang dalam dan membutuhkan waktu lama untuk sembuh.”

Penelitian yang diterbitkan di AMBIO ini memperlihatkan dimensi baru dari dampak perang di Gaza—bukan hanya kerusakan sosial dan ekonomi, tetapi juga kehancuran ekologis yang mengancam masa depan wilayah tersebut.

Rintoul-Hynes menegaskan, rekonstruksi Gaza harus menjadi momentum untuk membangun masa depan yang lebih hijau dan berkelanjutan. Tanpa perhatian terhadap lingkungan, perdamaian yang dicapai hanya akan bersifat sementara.


Sumber:
Rintoul-Hynes, N. L. J. (2025). Environmental considerations for post-war reconstruction of Gaza. AMBIO, Vol. 54. https://doi.org/10.1007/s13280-025-02246-1

Baca juga:

Artikel Dari Penulis Yang Sama

mapala ui

Petualangan Mapala UI di Gunung Patah, Bertemu Air Terjun Tiga Tingkat dan Kuburan Gajah

mapala ui elbrus

Bagaimana Rasanya Mendaki Gunung Tertinggi Rusia di Usia 55 Tahun?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *