goa pindul

Di Balik Tawa Wisatawan, Alam Gua Pindul Mulai Menjerit

Views: 8

Di pintu masuk Gua Pindul, puluhan wisatawan tampak bersiap: mengenakan pelampung oranye, memegang ban karet besar, dan tersenyum untuk foto sebelum menyusuri sungai bawah tanah. Bagi mereka, cave tubing di gua karst ini adalah pengalaman yang tak terlupakan. Petualangan yang memadukan keindahan, adrenalin, dan sensasi keajaiban alam. Namun, di balik gemuruh tawa dan kilatan kamera, para peneliti mulai melihat tanda-tanda bahaya yang tak kasat mata.

Menurut penelitian terbaru yang diterbitkan di Tourism and Science Journal oleh Muhammad Nufail Naisaburi dan timnya dari Universitas Amikom Yogyakarta, jumlah pengunjung Gua Pindul meningkat tajam dalam dua tahun terakhir. Setelah sempat anjlok ke sekitar 26.000 orang selama pandemi, angka kunjungan naik menjadi 40.000 pada 2021, dan menembus lebih dari 64.000 pengunjung hanya dalam lima bulan pertama 2022.

Lonjakan itu memang menandakan pemulihan ekonomi dan kembalinya gairah wisata alam, tetapi juga membawa konsekuensi serius.

“Setiap wisatawan berarti tambahan beban bagi ekosistem gua yang sangat sensitif,” ujar Iswan Bahri, salah satu peneliti studi tersebut. “Jika pengunjung terus bertambah tanpa pengelolaan yang baik, keindahan yang dicari itu justru akan hilang lebih cepat daripada yang kita duga.”

Jejak Manusia di Alam Bawah Tanah

Gua Pindul terbentuk dari batuan karst berusia jutaan tahun. Air bawah tanah yang mengalir lembut membentuk stalaktit dan stalagmit yang kini menjadi daya tarik utama wisata. Namun, karst juga merupakan ekosistem rapuh — perubahan kecil saja bisa berdampak besar.

Setiap hari, ratusan wisatawan membawa lumpur, sisa sabun, dan minyak dari kulit ke dalam air gua. Beberapa titik bahkan mulai menunjukkan perubahan warna air dan erosi ringan pada dinding batu, akibat gesekan ban pelampung yang terus-menerus.

“Gua karst tidak seperti pantai atau hutan yang bisa pulih dalam hitungan tahun. Kerusakannya bisa permanen,” kata Aisyah Astinadia Siregar, dari Universitas Putra bangsa, dalam laporan penelitian bertajuk “An Analytical Approach to Visitor Carrying Capacity and Conservation: The Pindul Cave of Yogyakarta“.

Lonjakan pengunjung Gua Pindul melonjak taja. Menurut data angka kunjungan naik menjadi 40.000 pada 2021, dan menembus lebih dari 64.000 pengunjung hanya dalam lima bulan pertama 2022. (Photo: Kompas.com)

Bagi warga Bejiharjo, cave tubing telah menjadi sumber penghidupan utama. Lebih dari 30 kelompok usaha lokal menggantungkan ekonomi mereka pada wisata gua ini, mulai dari penyewaan perlengkapan hingga warung dan homestay.

“Kalau wisata sepi, dapur kami berhenti mengepul,” kata Sulastri, warga yang sudah enam tahun bekerja sebagai pemandu lokal. Ia mengakui, peningkatan wisatawan memang membawa berkah — tetapi juga perubahan. “Air kadang jadi lebih keruh, sampah juga makin banyak. Tapi kalau ditutup, kami kehilangan penghasilan.”

Dilema inilah yang kini dihadapi pengelola Pindul Cave dan pemerintah daerah. Mereka berusaha menyeimbangkan keberlanjutan lingkungan dan kebutuhan ekonomi masyarakat.

Menjaga Gua Pindul

Penelitian Naisaburi dkk. menekankan pentingnya strategi manajemen berbasis motivasi wisatawan. Banyak pengunjung datang untuk mencari ketenangan, petualangan, atau sekadar melepas penat. Pendekatan wisata berkelanjutan — seperti pembatasan kuota harian, sistem booking online, dan edukasi ekowisata — dapat membantu menjaga keseimbangan antara kunjungan dan konservasi.

Dinas Pariwisata DIY juga telah menyiapkan rencana pengawasan ketat terhadap daya dukung gua. “Kami akan memperketat jumlah kunjungan dan melakukan rotasi jalur wisata,” kata Wahyu Widayat, Kepala Seksi Destinasi Alam Dinas Pariwisata DIY. “Tujuannya bukan membatasi, tapi memastikan generasi berikutnya masih bisa melihat keindahan Pindul seperti hari ini.”

Ketika rombongan wisata terakhir keluar dari mulut gua sore itu, cahaya matahari perlahan menyentuh air yang mulai tenang kembali. Di dalam kegelapan gua, stalaktit tetap meneteskan air, seolah mengingatkan: alam bisa menerima manusia, tapi hanya selama manusia tahu batasnya.

Gua Pindul kini berdiri di persimpangan — antara kebanggaan wisata dan ancaman kerusakan. Jika dikelola dengan bijak, ia bisa menjadi model wisata alam berkelanjutan di Indonesia. Tapi jika dibiarkan tanpa pengendalian, ia akan menjadi contoh klasik tentang bagaimana keindahan bisa hancur oleh ketidaksabaran manusia. (Sulung Prasetyo)

Baca juga:

Artikel Dari Penulis Yang Sama

hellowen hijau

Helloween Hijau Jadi Trend 2025

orangutan malaria

Orangutan Ternyata Bisa Terkena Malaria

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *