Views: 8
Penelitian terbaru mengungkap bahwa orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus) dapat terinfeksi penyakit malaria. Temuan ini berasal dari studi yang dipublikasikan di jurnal ilmiah Malaria Journal edisi Oktober 2025. Dalam laporan itu disebutkan untuk pertama kalinya para peneliti berhasil memetakan genom mitokondria lengkap parasit Plasmodium pitheci. Genom penyebab malaria pada orangutan.
Penelitian ini dilakukan oleh tim ilmuwan internasional yang bekerja di beberapa wilayah di Pulau Kalimantan. Mereka mengambil sampel darah dari orangutan liar dan semi-liar di Kalimantan Barat, Tengah, dan Timur (Indonesia), serta Sabah (Malaysia). Dari hasil analisis laboratorium, para peneliti berhasil menemukan urutan lengkap DNA parasit malaria sepanjang 5.871 pasangan basa (bp).
Menurut laporan tersebut, susunan gen pada parasit ini memiliki kemiripan tinggi dengan Plasmodium yang selama ini dikenal sebagai penyebab malaria pada manusia dan primata lain di Asia Tenggara. “Genom mitokondria yang berhasil diidentifikasi ini memperjelas hubungan evolusi antara Plasmodium pitheci dan parasit malaria pada primata lain di wilayah Asia Tenggara,” tulis Anik Budhi Dharmayanthi, peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dalam laporannya.
Mirip Malaria pada Manusia
Peneliti menjelaskan bahwa Plasmodium pitheci berkembang biak di dalam sel darah merah orangutan dan ditularkan melalui gigitan nyamuk, dengan mekanisme yang serupa dengan penyakit malaria pada manusia.
Analisis genetik menunjukkan bahwa P. pitheci membentuk kelompok monofiletik, artinya memiliki satu asal usul yang sama, dan menunjukkan hubungan kekerabatan dekat dengan beberapa jenis Plasmodium lain yang ditemukan pada primata Asia. Hasil ini juga memperlihatkan keragaman genetik yang tinggi, dengan 27 haplotipe berbeda dari 48 urutan yang dianalisis.
Tingkat variasi genetik tersebut menunjukkan bahwa parasit ini telah lama beradaptasi dengan inangnya, yaitu orangutan Kalimantan. Walau belum ditemukan bukti bahwa parasit ini bisa menular ke manusia, para peneliti menilai bahwa pengawasan penyakit lintas-spesies tetap penting dilakukan, terutama karena manusia dan orangutan hidup berdekatan di beberapa wilayah hutan Kalimantan.
Ancaman Baru bagi Konservasi
Penemuan ini menambah daftar panjang ancaman terhadap populasi orangutan Kalimantan yang sudah tertekan akibat deforestasi, kebakaran hutan, dan perburuan liar. Para ahli menilai bahwa infeksi Plasmodium dapat memperburuk kondisi kesehatan orangutan, terutama di pusat rehabilitasi atau lokasi dengan kepadatan satwa tinggi.
Beberapa gejala yang mungkin muncul pada orangutan yang terinfeksi antara lain anemia, penurunan daya tahan tubuh, dan gangguan metabolisme. Kondisi ini dapat menghambat upaya pelepasliaran kembali ke habitat alami, serta meningkatkan risiko kematian pada individu yang lemah.
“Infeksi seperti ini bisa berdampak terhadap keberhasilan program konservasi, karena menurunkan ketahanan tubuh orangutan yang sedang direhabilitasi,” tulis Anik lagi dalam laporan tersebut.
Dengan tersusunnya genom mitokondria lengkap Plasmodium pitheci, para ilmuwan kini memiliki dasar kuat untuk mengembangkan alat diagnostik molekuler yang lebih akurat. Deteksi dini diharapkan dapat membantu pengelola konservasi memantau kesehatan orangutan sebelum gejala klinis muncul.
Selain itu, hasil penelitian ini juga membuka peluang bagi studi lanjutan mengenai penyakit menular pada primata liar di Asia Tenggara. Dibandingkan Afrika, data tentang malaria pada primata di Asia masih sangat terbatas. Padahal, wilayah ini memiliki keanekaragaman tinggi dan berpotensi menjadi “pusat evolusi” bagi parasit Plasmodium.
Potensi Risiko bagi Manusia
Walau belum ditemukan kasus penularan P. pitheci ke manusia, para ahli mengingatkan bahwa penularan zoonosis tetap perlu diwaspadai. Sebelumnya, spesies malaria lain seperti Plasmodium knowlesi, yang awalnya hanya menginfeksi kera ekor panjang di Malaysia, telah diketahui dapat menular ke manusia.
Kedekatan ekologis antara manusia dan orangutan di Kalimantan — terutama akibat pembukaan hutan dan aktivitas rehabilitasi — menciptakan peluang bagi perpindahan parasit lintas spesies. Oleh karena itu, para peneliti menilai pentingnya kerja sama antara lembaga konservasi, otoritas kesehatan, dan peneliti penyakit tropis.
Penelitian ini menegaskan bahwa orangutan Kalimantan dapat menjadi inang alami bagi parasit malaria Plasmodium pitheci. Temuan ini bukan hanya penting bagi dunia konservasi, tetapi juga menjadi peringatan bagi upaya pemantauan penyakit zoonosis di wilayah tropis.
Dengan pengetahuan baru tentang parasit ini, para ilmuwan berharap dapat memperkuat upaya perlindungan terhadap satwa langka Indonesia sekaligus memperluas pemahaman mengenai hubungan antara penyakit, satwa liar, dan manusia di ekosistem hutan hujan Kalimantan. (Wage Erlangga)





