goa meksiko

Stalagmit Kuno Ungkap Kekeringan Mematikan di Balik Runtuhnya Peradaban Maya

Views: 8

Sebuah penelitian terbaru yang diterbitkan dalam jurnal Science Advances, Oktober 2025 mengungkap bukti kuat bahwa serangkaian kekeringan panjang selama musim hujan menjadi salah satu penyebab utama kemunduran peradaban Maya Klasik lebih dari seribu tahun lalu.

Temuan ini berasal dari analisis stalagmit—formasi mineral yang tumbuh dari dasar gua—yang diambil dari kawasan utara Semenanjung Yucatán, Meksiko. Para peneliti menemukan bahwa antara tahun 871 hingga 1021 Masehi, wilayah tersebut mengalami setidaknya delapan periode kekeringan besar, termasuk satu kekeringan ekstrem yang berlangsung selama 13 tahun berturut-turut.

Dengan menganalisis rasio isotop oksigen pada lapisan-lapisan stalagmit, para ilmuwan berhasil merekonstruksi pola curah hujan musiman dari lebih dari seribu tahun lalu. Data iklim beresolusi tinggi ini memungkinkan mereka membedakan antara musim hujan dan musim kemarau, memberikan gambaran yang jauh lebih akurat tentang perubahan iklim yang dihadapi masyarakat Maya pada masa itu.

“Setiap lapisan stalagmit merekam satu tahun, bahkan satu musim, dari sejarah curah hujan,” ujar Dr. Daniel H. James, salah satu penulis penelitian tersebut.

Hasil analisis isotop memperlihatkan penurunan drastis curah hujan selama musim hujan, kondisi yang sangat berpotensi menyebabkan gagal panen dan kekurangan air di wilayah yang sangat bergantung pada pertanian dan sistem penampungan air alami.

Keruntuhan Sosial

Peneliti juga menemukan keterkaitan erat antara kekeringan panjang dan kemunduran aktivitas politik serta pembangunan monumental di kota-kota besar Maya seperti Chichén Itzá dan wilayah Puuc. Bukti arkeologis menunjukkan bahwa selama periode kekeringan, pembangunan monumen besar tiba-tiba berhenti, menandai awal dari krisis sosial dan ekonomi.

“Waktu terjadinya kekeringan bertepatan dengan masa ketika pembangunan monumen berhenti,” jelas Daniel lagi. “Ini merupakan bukti kuat bahwa tekanan iklim secara langsung berkontribusi pada ketidakstabilan sosial dan politik masyarakat Maya.”

Semenanjung Yucatán memiliki lapisan tanah kapur yang tidak dapat menahan air dalam waktu lama. Akibatnya, kota-kota Maya sangat bergantung pada curah hujan dan waduk air buatan yang disebut chultun. Ketika musim hujan gagal datang selama bertahun-tahun, sistem penampungan tersebut mengering, menyebabkan kekurangan air, kelaparan, migrasi besar-besaran, hingga potensi konflik antarwilayah.

Garis kontur bernomor menunjukkan rata-rata total curah hujan tahunan yang dimodelkan untuk periode 1979–2022, dalam milimeter per tahun (ECMWF ERA5, produk analisis ulang atmosfer generasi kelima dari European Centre for Medium-Range Weather Forecasts) (80). Kotak putih menunjukkan lokasi studi paleoklimatologi atau pemantauan gua sebelumnya yang disebutkan dalam teks, dengan lokasi penelitian ini, Grutas Tzabnah, ditandai dengan huruf X.

Pola Kekeringan Berulang

Catatan dari stalagmit menunjukkan bahwa kekeringan bukanlah peristiwa tunggal, melainkan pola berulang yang terjadi selama lebih dari satu abad. Beberapa periode kering berlangsung tiga hingga lima tahun berturut-turut—cukup lama untuk menghancurkan sistem pertanian dan melemahkan daya tahan sosial masyarakat Maya.

Para ilmuwan menduga kekeringan ini dipicu oleh perubahan suhu permukaan laut di kawasan Atlantik tropis, yang mengganggu pola cuaca regional—serupa dengan fenomena El Niño yang terjadi di era modern.

“Yang kami lihat adalah contoh nyata dari bagaimana variabilitas iklim jangka panjang dapat mengguncang stabilitas masyarakat yang kompleks,” tulis Daniel. “Peradaban Maya memiliki sistem pengelolaan air yang canggih, namun itu tidak cukup untuk menghadapi kekeringan selama lebih dari satu dekade.”

Lebih dari sekadar menjelaskan misteri masa lalu, penelitian ini menyampaikan peringatan penting bagi dunia modern yang kini menghadapi krisis iklim global. Kekeringan, banjir, dan gelombang panas yang ekstrem—mirip dengan yang pernah dialami oleh bangsa Maya—berpotensi menimbulkan dampak sosial dan ekonomi serupa jika masyarakat gagal beradaptasi.

“Kisah Maya mengingatkan kita bahwa bahkan peradaban yang maju sekalipun dapat runtuh ketika tekanan lingkungan melebihi kemampuan manusia untuk beradaptasi,” tulis tim peneliti dalam laporannya. “Keseimbangan antara manusia dan iklim sangat rapuh.”

Baca juga :

Ingatan Alam

Stalagmit yang digunakan dalam penelitian ini kini menjadi saksi bisu hubungan antara alam dan peradaban manusia. Setiap lapisannya, yang diperiksa dengan presisi mikroskopis, menyimpan kisah ribuan tahun tentang hujan, kekeringan, dan perjuangan manusia untuk bertahan hidup.

Dengan memecahkan kode di dalam batu-batu tersebut, para ilmuwan tidak hanya menulis ulang sejarah bangsa Maya, tetapi juga menegaskan satu kebenaran universal: iklim membentuk peradaban.

Dan seperti halnya lebih dari seribu tahun lalu, ritme antara hujan dan kekeringan masih menjadi penentu nasib manusia hingga hari ini. (Wage Erlangga)

Artikel Dari Penulis Yang Sama

Oskar Speck, Penjelajah yang Tak Disadari Dunia

Mengatasi Cedera Petualang Alam Terbuka dengan Terapi Sport Massage

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *