Views: 3
Di tengah rimbunnya hutan hujan Pulau Batanta, tim peneliti internasional berhasil menemukan dua spesies anggrek baru yang belum pernah dideskripsikan sebelumnya. Temuan ini menambah daftar panjang kekayaan flora Nusantara dan menegaskan bahwa kawasan timur Indonesia masih menyimpan misteri keanekaragaman hayati yang belum terungkap.
Penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal ilmiah Telopea (Agustus 2025) itu mengumumkan dua spesies baru. Dendrobium siculiforme dan Bulbophyllum ewamiyiuu, keduanya ditemukan di kawasan hutan dataran rendah Pulau Batanta, Kabupaten Raja Ampat.
Anggrek Belati dari Batanta
Spesies pertama, Dendrobium siculiforme, memiliki bentuk bibir bunga yang menyerupai belati kecil — ciri yang menjadi asal nama “siculiforme” dari bahasa Latin sicula yang berarti “belati”. Anggrek ini tumbuh sebagai epifit di batang pohon pada ketinggian sekitar 630 meter di atas permukaan laut. Bunganya berwarna kuning krem dengan urat coklat, menghasilkan tampilan yang elegan namun tegas.
Namun, di balik keindahannya, anggrek ini menghadapi ancaman serius. Peneliti hanya menemukan satu individu hidup dengan tiga batang tanpa daun. Karena populasinya sangat terbatas dan habitatnya rentan terhadap gangguan, Dendrobium siculiforme dikategorikan sebagai Kritis (Critically Endangered) menurut kriteria IUCN.
“Spesies ini ditemukan di hutan yang relatif utuh, tetapi keberadaannya sangat rapuh. Bahkan aktivitas ringan seperti perburuan atau kunjungan wisata bisa berdampak besar,” tulis peneliti utama Reza Saputra dari James Cook University dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam Papua Barat.

Anggrek Bergaris yang Menyelamatkan Bahasa
Spesies kedua, Bulbophyllum ewamiyiuu, juga tak kalah unik. Anggrek ini memiliki umbi batang beralur dengan garis-garis kecoklatan menyerupai corak kulit harimau. Nama “ewamiyiuu” diambil dari bahasa suku Batanta, yang berarti “bergaris”. Pilihan nama ini bukan sekadar deskripsi morfologi, tetapi juga penghormatan terhadap masyarakat adat yang telah menjaga hutan Batanta selama berabad-abad.
Bahasa Batanta kini terancam punah — hanya sekitar 150 penutur lanjut usia yang masih menggunakannya. Dengan menamai spesies ini menggunakan bahasa lokal, para ilmuwan berharap dapat menumbuhkan kesadaran akan pentingnya peran masyarakat adat dalam pelestarian alam dan warisan budaya.
“Memberi nama dengan bahasa lokal adalah bentuk apresiasi terhadap kearifan masyarakat yang menjadi penjaga hutan dan habitat alami anggrek ini,” tulis para peneliti dalam laporannya.
Masih Banyak yang Belum Ditemukan
Pulau New Guinea — yang mencakup wilayah Papua dan Papua Nugini — dikenal sebagai pulau tropis dengan keanekaragaman tumbuhan tertinggi di dunia, memiliki hampir 2.900 spesies anggrek yang telah tercatat. Namun para ilmuwan memperkirakan jumlah sebenarnya jauh lebih besar.
Menurut studi Nature (2020), New Guinea juga tergolong sebagai “darkspot keanekaragaman tumbuhan”, yaitu wilayah dengan kekosongan besar dalam pengetahuan tentang flora. Penelitian lapangan seperti yang dilakukan tim “Orchids of the Bird’s Head Peninsula” menjadi langkah penting untuk mengisi kekosongan data tersebut.
Ancaman dan Harapan
Kedua spesies baru ini sama-sama ditemukan di dalam kawasan Cagar Alam Batanta Barat. Meski relatif terlindungi, ancaman tetap mengintai — mulai dari perburuan liar hingga penjualan anggrek secara daring.
Salah satu spesies, Bulbophyllum ewamiyiuu, bahkan sudah dilaporkan muncul di pasar tanaman hias online. Karena itu, peneliti menempatkannya dalam kategori Data Kurang (Data Deficient) hingga survei lebih lanjut dapat memastikan ukuran populasi dan distribusinya di alam.
Tim peneliti yang terdiri dari ahli botani Indonesia, Inggris, dan Australia kini mendorong survei lanjutan dan pemantauan jangka panjang untuk memastikan perlindungan spesies langka ini.
“Setiap temuan baru bukan sekadar menambah daftar spesies, tetapi juga mengingatkan kita bahwa masih banyak kehidupan di bumi yang belum kita kenal, dan bisa lenyap sebelum sempat kita pahami,” ujar Saputra. (Wage Erlangga)
Referensi:
Saputra, R. et al. (2025). Two new orchid species from the Raja Ampat Archipelago, Southwest Papua Province, Indonesia. Telopea, 29:197–205.





