Views: 7
Melintasi enam negara di Afrika hanya dengan mengandalkan tenaga matahari. Bukan mobil futuristik, bukan truk besar dengan panel surya di atapnya, tapi sebuah sepeda motor listrik yang dirancang untuk menaklukkan jalanan penuh debu, panas, dan tantangan khas benua itu.
Itulah yang dilakukan Stephen Lacock, peneliti muda dari Universitas Stellenbosch, Afrika Selatan.
Selama beberapa minggu, ia bersama tim kecilnya berkendara sejauh 6.000 kilometer — dari Nairobi, Kenya, menuju kampus mereka di Stellenbosch. Tujuan mereka sederhana tapi ambisius, membuktikan bahwa energi bersih bisa menggerakkan Afrika, satu baterai surya pada satu waktu.
Motor Listrik, Tenaga Matahari, dan Harapan Baru
Kendaraan yang mereka gunakan bukan motor biasa. Namanya Roam Air, hasil kolaborasi antara perusahaan mobilitas listrik Afrika dan universitas setempat. Motor ini dilengkapi dengan baterai yang bisa ditukar (swappable battery) dan stasiun pengisian tenaga surya portabel yang bisa dibawa ke mana saja.
Di sepanjang jalan, motor ini menempuh medan yang tak ramah — mulai dari jalan kerikil di Tanzania, padang kering Zambia, hingga jalur berbatu di perbatasan Namibia. Tapi justru di sanalah Roam Air membuktikan dirinya. Ia tetap melaju, disinari matahari Afrika yang terik, seolah menjadi simbol bahwa sumber daya terbesar benua ini — cahaya matahari — bisa menjadi kunci masa depan energi mereka.
“Perjalanan ini bukan sekadar tentang teknologi,” kata Lacock dalam wawancaranya dengan Nature, Juli 2025. “Ini tentang menunjukkan bahwa Afrika mampu berinovasi dengan caranya sendiri.”
Tak ada perjalanan besar tanpa rintangan. Panel surya kadang tertutup debu. Di beberapa titik, sinyal GPS hilang, dan baterai motor nyaris habis sebelum menemukan tempat pengisian.
Namun setiap masalah menjadi bahan pembelajaran. Lacock menyadari bahwa teknologi hijau tak cukup hanya efisien — ia harus tangguh dan bisa beradaptasi dengan realitas lokal.
Ia juga belajar bahwa dalam proyek lintas benua seperti ini, rencana bisa berubah setiap jam. Kadang cuaca ekstrem memaksa mereka berhenti berhari-hari, kadang ban motor pecah di tengah padang tanpa sinyal. Tapi justru di situ semangat tim diuji — dan terbentuk.

Sebuah Laboratorium di Jalanan
Ekspedisi ini sebenarnya juga merupakan proyek penelitian hidup.
Selama perjalanan, tim mengumpulkan data tentang efisiensi pengisian surya, performa baterai, serta konsumsi daya pada berbagai kondisi jalan. Data tersebut kini digunakan untuk merancang motor listrik yang lebih tahan terhadap cuaca ekstrem dan lebih efisien di wilayah tanpa listrik.
“Melalui perjalanan ini, kami tidak hanya membawa teknologi ke Afrika — kami membawa Afrika ke dalam teknologi,” ujar Lacock.
Ketika akhirnya motor mereka tiba di gerbang Universitas Stellenbosch, tim ini bukan hanya menyelesaikan misi teknis. Mereka telah membawa pulang cerita harapan.
Bahwa inovasi tidak harus datang dari Silicon Valley. Bahwa masa depan energi bersih juga bisa lahir dari jalanan berbatu Afrika, di bawah langit yang sama yang menyinari dunia.
Kini, Roam Air menjadi simbol kecil dari gerakan besar — gerakan menuju mobilitas berkelanjutan yang tak hanya ramah lingkungan, tapi juga relevan dengan realitas sosial di Afrika.
Dan siapa tahu, suatu hari nanti, motor bertenaga surya semacam ini akan menjadi pemandangan biasa — bukan hanya di Nairobi atau Cape Town, tapi juga di Jakarta, Bandung, atau bahkan di desa-desa pelosok Indonesia. (Sulung Prasetyo)





