mangrove

Indonesia Belum Siap Jual Karbon Biru

Views: 8

Ketiadaan regulasi dan ukuran dalam menilai jumlah karbon dari lautan, menjadi masalah utama yang menjadikan Indonesia disinyalir belum siap ikut serta dalam skema perdagangan karbon internasional. Padahal diperkirakan Indonesia memiliki nilai karbon dari lautan yang tidak main-main. Mengingat jumlah luasan daerah mangrove dan padang lamun yang ada di Indonesia.

“Peta jalan atau road map tentang blue carbon belum ada di wilayah-wilayah mereka (wilayah pesisir dibawah kewenangan Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia-red)”, kata Aji W. Anggoro, Blue Carbon Manajer dari Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YAKN). Ia mengatakan hal tersebut dalam acara diskusi Sains di Medan Merdeka, dengan tema Nilai Ekonomi Karbon Biru dan Kepemimpinan Indonesia, di Jakarta, Selasa (12/10/2025).

Ketiadaan peta jalan itu yang kemudian menjadi hambatan untuk melakukan penilaian lanjutan mengenai potensi penyerapan atau pencegahan pelepasan karbon di daerah pesisir. Sementara penilaian tersebut sangat dibutuhkan untuk menjadi pedoman pembiayaan melalui pasar karbon internasional.

Padahal menurut penilaian Anggoro, potensi penegahan pelepasan karbon di pesisir Indonesia sangat potensial sekali. Sebab YAKN telah memiliki beberapa lokasi penilaian sementara di Bangka Belitung Ogan Kemering Ilir, Bengkalis dan Kalimantan Timur. Penilaian itu sendiri meliputi potensi konservasi dan pencegahan pelepasan karbon di wilayah mangrove dan padang lamun.

Belum Diajukan

Hal itu juga yang diamini oleh Haryo Pambudi, dari Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) Republik Indonesia dalam kesempatan serupa. Menurutnya potensi pembiayaan pasar karbon dari konservasi karbon atau pencegahan pelepasan karbon bisa diraih melalui skema Forestry and Other Land Use (FOLU).

“Kementerian Kelautan dan Perikanan belum memiliki regulasi untuk blue carbon”, tambah Haryo menegaskan.

Tidak adanya regulasi itu membuat KLH belum mengajukan potensi pembiayaan karbon dari pesisir di pasar karbon internasional. Saat ini menurut Haryo, potensi pembiayaan karbon yang sudah diajukan baru pada sektor kehutanan melalui skema Reducing Emission from forest Deforestation and Degradation (REDD+).

Padahal menurut Haryo potensi pembiayaan karbon melalui FOLU bisa dilakukan, karena ada skema unplanned deforestation dan planned deforestation. Dengan skema itu berarti pembiayaan karbon melalui blue carbon bisa dilakukan melalui konservasi dan pencegahan pelepasan karbon didaerah pesisir.

Padang lamun menjadi bagian ekositem blue carbon yang bisa menahan pelepasan karbon penyebab pemanasan global dan perubahan iklim. (dok. universitas airlangga)

Potensi Besar

Seperti dijelaskan sebelumnya, padahal Indonesia memiliki potensi sangat besar dalam blue carbon. Mengingat wilayah pesisir Indonesia merupakan yang terpanjang kedua di dunia, setelah Kanada. Dalam penjelasan pengantar diskusi, Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), Daniel Murdiyarso menjelaskan kalau Indonesia memiliki ekosistem pesisir yang kaya, seperti padang lamun dan mangrove. Ekosistem ini menyimpan karbon biru (blue carbon) yang berperan penting dalam upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.

Selain fungsi ekologis, potensi karbon biru juga memiliki nilai ekonomi yang signifikan. Perdagangan karbon dan skema jasa lingkungan memberikan peluang baru untuk mendukung pembangunan berkelanjutan. Konservasi dan restorasi ekosistem karbon biru tidak hanya mendukung mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, tetapi juga menghasilkan manfaat tambahan (co-benefits), termasuk menjaga keanekaragaman hayati, meningkatkan produktivitas perikanan, memperkuat ketahanan ekosistem dan masyarakat serta membuka peluang dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir.

Namun demikian, pemahaman para pemangku kepentingan —baik pemerintah, masyarakat, akademisi, maupun organisasi masyarakat sipil— terhadap potensi dan manfaat karbon biru masih beragam.

Di sisi lain, kelembagaan dan regulasi yang mendukung pengembangan nilai ekonomi karbon biru masih perlu diperkuat. Kepastian hukum, transparansi tata kelola, dan kebijakan yang selaras dan berkesinambungan menjadi landasan utama dalam menarik investasi sekaligus memastikan keberlanjutan program.

“Tanpa kerangka regulasi yang jelas, potensi besar karbon biru Indonesia akan sulit dioptimalkan”, ujar Daniel.

Perkembangan pasar karbon, baik secara domestik maupun internasional, membuka peluang bagi Indonesia dalam memimpin pengembangan program dan operasionalisasi ekonomi karbon biru. Dukungan ilmu pengetahuan sudah memadai untuk dimanfaatkan dalam peningkatan kualitas dan integritas proyek karbon biru Indonesia. (Sulung Prasetyo)

Baca juga :

Artikel Dari Penulis Yang Sama

Mengatasi Cedera Petualang Alam Terbuka dengan Terapi Sport Massage

anggrek papua

Dua Anggrek Cantik Baru Ditemukan di Papua

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *