Views: 11920
Empat pendaki Prancis mencapai puncak gunung tertinggi kedua dunia, K2 tanpa oksigen pada tanggal 28 Juli 2024. Mereka menyelesaikan misi tersebut dalam waktu 11 jam. Setelah mencapai puncak, kemudian mereka memutuskan turun melayang menggunakan parasut paragliding.
Jean Yves Fredriksen, adalah salah satu dari empat orang tersebut. Dia mendaki dengan menggunakan dua rute kombinasi. Rute pendakian awal melalui Polish Line yang melewati punggungan tengah sisi selatan K2, kemudian melintas Messner Traverse yang rumit, dan terakhir masuk ke rute Cesen selama 39 jam tanpa henti.
“Saya hanya tidak suka keramaian,” ungkapnya menjelaskan mengapa ia memilih melalui rute tersebut kepada website explorerweb singkat.
Pendaki berusia 49 tahun ini adalah seorang selebriti paralayang, pemain ski ekstrem, alpinis, dan bahkan seorang musisi yang memainkan biolanya di setiap ekspedisi. Selama bertahun-tahun, ia bermimpi untuk mendaki K2, kemudian bersepeda melintasi dataran tinggi Tibet dan mengulangi pendakian plus paralayang di sisi Utara Everest.
“Namun situasi di Tiongkok sangat rumit, jadi akhirnya saya memutuskan untuk fokus pada K2 saja,” jelasnya.
Pada musim semi ini, Fredriksen sebenarnya melakukan pendakian seorang diri. Sebelum kemudian bertemu dengan Seb Montaz, Liv Sansoz dan Seb Roche. Lalu keempatnya memutuskan mendaki bersama meskipun mengawalinya secara terpisah.
Beda Aklimatisasi
Fredriksen, mendaki dengan menggunakan strategi aklimatisasi yang berbeda. Ia memutuskan naik turun tujuh kali ke kamp yang ditargetkan. Kamp tersebut berada di ketinggian 6.600 mdpl, tepat sebelum Messner Traverse. Ini adalah bagian paling berbahaya dari rute tersebut karena sebuah celah besar dengan es menggantung di atasnya.
“Saya naik dan turun sekitar tujuh kali, berharap mendapatkan kesempatan untuk mencapai puncak,” jelasnya.
Dia mendiskusikan strategi tersebut di Base Camp dengan para pendaki lainnya. Mereka menganjurkan untuk tidur di Camp 3 atau Camp 4. “Itu jelas bukan cara saya mendaki,” kata Fredriksen. “Lagipula, puncak K2 hanya 2.000 meter lebih tinggi dari kamp tertinggi saya. Saya berpengalaman berada di ketinggian ketinggian serupa saat berada di Chamonix dan mendaki Mont Blanc”.
Namun untuk menghindari bahaya yang selalu mengintai di K2, ia memutuskan parasut paragliding ultra-ringan di punggungnya.
“Paragliding itu adalah cadangan saya,” kata Fredriksen. “Dengan membawa paragliding di punggung, saya yakin, jika terjadi sesuatu, saya selalu bisa melarikan diri dan terbang kembali ke bawah.” Paragliding ultralight milik Fredriksen hanya berbobot satu kilogram, belum termasuk tali pengaman seberat 300 gram.
Serangan Puncak
Akhirnya, sebuah kesempatan kecil terbuka dan membuat semua pendaki di K2 bergerak.
“Salju masih sangat tebal, tetapi ramalan cuaca sangat bagus,” katanya. “Pada hari pendakian saya, tidak ada angin, dan suhunya sangat bagus.”
Fredriksen berangkat dari Base Camp pada tanggal 26 Juli dan tidur di kampnya sebelum pendakian terakhir.
“Pada tanggal 27, saya mulai dengan siang hari sekitar pukul 5 pagi,” katanya. “Saya tidak ingin melalui Messner Traverse dalam kegelapan. Setelah aman di sisi lain, saya mendaki selama dua jam di salju tebal hingga mencapai rute Cesen di ketinggian 6.900 mdpl.”
Di Cesen, Fredriksen menemukan beberapa tali peninggalan dari ekspedisi 2019, yang terakhir mencoba rute ini. Dia mengikuti tali itu hingga ketinggian 7.200m. “Setelah itu, tidak ada apa-apa,” katanya.
Fredriksen mengikuti sebuah celah selama satu jam, tetapi ternyata buntu karena terlalu banyak salju. Dia harus mundur dan mengikuti bagian berbatu di sebelah kanan. Hal ini akhirnya membawanya ke rute normal Abruzzi Spur di dekat Camp 4. Saat itu, waktu sudah menunjukkan tengah malam. Dia melanjutkan perjalanan tanpa tidur, karena dia tidak membawa kantong tidur atau tenda.
“Saya tidak tidur, tetapi saya berhenti tiga kali untuk mencairkan salju dan menyesuaikan kondisi tubuh. Untungnya, saya membawa kompor,” kata Fredriksen.
Fredriken mencapai puncak pada pukul 3 sore. Dia berhenti beberapa meter dan tertidur, sementara Naoko Watanabe dari Jepang dan pemandu Sherpa-nya mengambil foto puncak dan kemudian pergi. Setelah berada di puncak ia memutuskan turun dengan menggunakan parasut paragliding-nya. Tapi ada masalah dengan angin. Hembusan angin tak ada sama sekali.
Berharap Angin
“Lepas landas sangat sulit karena tidak ada angin sama sekali,” kata Fredriksen. “Saya menghabiskan waktu sekitar 90 menit untuk mencoba, tetapi parasut paragliding tidak cukup mengembang untuk menahan saya. Akhirnya, hembusan angin datang dan itu cukup untuk mengembangkan parasut saya.”
Fredriksen terbang selama satu menit ke arah utara ke Cina, lalu berbelok ke kanan di sepanjang sisi timur.
Pada ketinggian 6.800 mdpl, terdapat lapisan awan yang tebal, sehingga Fredriksen harus mencari celah untuk terus turun dengan jarak pandang yang cukup. “Untungnya, saya melakukan putaran 360 derajat dan menemukan sebuah celah kecil di dalam gumpalan awan tepat di dekat sisi selatan,” kata Fredriksen.
Dia mengatakan awan itu setebal 100 meter dan kemudian tiba-tiba menghilang. “Kemudian saya melihat kemah induk di kejauhan dan jejak kaki saya di salju di rute Cesen,” kata Fredriksen.
Dia mendarat di salju yang lembut, lima meter dari tendanya di ketinggian 6.600 mdpl, setelah penerbangan 20 menit dari puncak.
Para petugas berwenang di Pakistan kemudian menanggapi masalah ini dengan serius. Sebabnya dulu pernah ada kecelakaan pilot Brasil Rodrigo Raineri, yang diduga juga melakukan penerbangan turun dari puncak K2. Namun niat tersebut berakhir dengan kekacauan besar, termasuk penahanan terhadap penyelenggara ekspedisi, Ali Saltoro, dari Alpine Adventure Guides selama beberapa hari. (Sulung Prasetyo)
+ There are no comments
Add yours