Views: 450
Ternyata dari 12.015 orang yang telah mencapai puncak Everest sampai akhir tahun 2023, hanya 15 orang yang telah mencapai puncak di musim dingin. Tercatat tiga puluh empat ekspedisi telah dicoba, termasuk 13 ekspedisi tanpa oksigen untuk pernafasan buatan. Hanya lima dari ekspedisi tersebut yang berhasil, dan hanya satu dari 15 pendaki yang berhasil mencapai puncak tanpa oksigen. Selain itu, hanya satu orang yang mencapai puncak sendirian.
Everest menjadi puncak 8.000 meter pertama yang didaki di musim dingin ketika pendaki Polandia, Leszek Cichy dan Krzysztof Wielicki mencapai puncak pada 17 Februari 1980. Namun sebelum keberhasilan itu masih ada beberapa cerita yang mendahuluinya. Meski berisi kegagalan namun bukan berarti tak perlu untuk diketahui.
Ide Awal Pendakian Musim Dingin Everest
Antara tahun 1950 dan 1964, pendakian ke 14 puncak tertinggi dunia, di Himalaya dilakukan. Namun tak satu pun dari mereka yang datang di musim dingin. Baru pada tanggal 13 Februari 1973, pendaki Polandia Andrzej Zawada dan Tadeusz Piotrowski mencapai puncak Noshaq setinggi 7.492 meter diatas permukaan laut (mdpl), gunung tertinggi kedua di Hindu Kush pada musim dingin. Satu tahun kemudian, Zawada memimpin ekspedisi musim dingin ke Lhotse. Pada 25 Desember, Zawada dan rekan setimnya, Zyga Heinrich, mencapai ketinggian 8.250 m sebelum badai yang mendekat memaksa mereka untuk mundur. Selama ekspedisi, mereka mengamati kondisi cuaca di area Everest. Segera setelah itu, orang-orang Polandia mulai berpikir untuk mendapatkan izin musim dingin untuk mendaki Everest.
Setelah menunggu lama, izin akhirnya datang pada bulan November 1979. Tim Polandia memilih rute South Col-Southeast Ridge (normal). Tim Zawada terdiri dari 20 pendaki Polandia, enam pekerja upahan di atas Base Camp, dan sherpa pendaki bernama Pemba Norbu.
Menurut laporan Jozef Nyka untuk American Alpine Journal, ekspedisi tersebut tiba di Base Camp Everest pada 5 Januari 1980. Segalanya tampak sangat suram. Angin kencang bertiup dari utara, dan suhu udara sangat rendah. Di atas gunung, mereka melihat lapisan salju yang bergerigi seperti gergaji. Aliran sungai glasial juga membeku, dan es yang mencair adalah satu-satunya sumber air minum. Suhu berkisar antara -25ºC dan -45ºC. Angin berkekuatan badai menghantam gunung.
“Angin melepaskan lapisan salju dari lereng, memperlihatkan batu dan es yang terbuka. Bergerak di atas hamparan es membutuhkan perhatian lebih, butuh tambatan ekstra, dan tali pengikat tambahan di bagian yang seharusnya mudah,” tulis mereka.
Para pendaki kesulitan bernapas, dan udara es membuat mereka sakit. Dalam kondisi seperti ini, mendirikan kamp yang lebih rendah saja sudah menjadi tantangan tersendiri.
Pada minggu pertama bulan Februari, angin terus menghancurkan kamp-kamp mereka. Lagi dan lagi, orang-orang Polandia membangunnya kembali. Kamp 3 (di ketinggian 7.150 m) tertiup angin beberapa kali, dan baru pada tanggal 9 Februari mereka dapat membangunnya lebih tinggi.
Pada tanggal 11 Februari, Leszek Cichy, Walenty Fiut, dan Krzysztof Wielicki mencapai ketinggian 7.960m. Di sana, mereka mendirikan Camp 4 di lereng di bawah sadel gunung. Angin belum juga reda, mencapai 200 kilometer per jam (kpj). Pada malam hari, angin yang sangat kencang akhirnya mendorong para pendaki kembali ke Camp 3.
Angin Reda, Salju Turun
Malam berikutnya, angin mereda dan salju mulai turun. Pada tanggal 13 Februari, Ryszard Szafirski dan Zawada kembali ke Camp 4. Keesokan harinya, mereka mencoba mendaki punggungan Tenggara, tetapi angin kencang kembali memaksa mereka kembali. Szafirski dan Zawada meninggalkan tabung oksigen mereka di atas gunung dan mulai turun ke Camp 3, dengan Zawada bergerak perlahan.
Sementara itu, Base Camp mendengar bahwa pemerintah Nepal menginginkan ekspedisi selesai pada tanggal 15 Februari. Berkat seorang pejabat Polandia di Kathmandu, tenggat waktu akhirnya diperpanjang hingga 17 Februari.
Sejak itu tak boleh ada waktu yang terbuang. Zyga Heinrich dan Pasang Norbu Sherpa segera berangkat. Mereka mencapai ketinggian 8.300 m, namun badai salju yang keras membuat mereka kembali gagal mencapai puncak. Upaya Heinrich dan Pasang Norbu dilakukan tanpa oksigen dalam kemasan.
Pada tanggal 16 Februari, setelah hujan salju semalaman, langit mendadak menjadi cerah. Pada hari itu juga, Krzysztof Wielicki dan Leszek Cichy kembali mencapai Camp 4, atau camp terakhir sebelum puncak. Di pagi hari, kedua pendaki memulai pendakian dan mencapai puncak pada tanggal 17 Februari pukul 2:30 siang. Setelah beristirahat sejenak, mereka kemudian menghubungi Base Camp.
“Kondisinya sangat berat. Beberapa bagian punggungan terlihat lebih curam dan menjadi tidak bersalju dengan bebatuan yang tertutup es. Angin kencang berhembus sepanjang waktu, sangat dingin,” tutur pendaki yang mencapai puncak.
Kedua pendaki kemudian menancapkan bendera Polandia dan Nepal di puncak dan tinggal di sana selama 40 menit sebelum turun.
Tidak Semua Orang Senang
Setelah pendakian musim dingin pertama di ketinggian 8.000 mdpl yang berhasil itu, pendaki gunung asal Italia, Reinhold Messner, menimbulkan kontroversi didalamnya. Seperti yang ditulis Bernadette McDonald dalam bukunya yang fantastis, Winter 8.000: Climbing The World’s Highest Mountains In The Coldest Season, Messner menolak untuk menerima pendakian musim dingin tersebut selama dua tahun.
Messner bersikeras bahwa para pendaki itu tidak melakukan pendakian di musim dingin, karena pejabat Nepal baru-baru ini memperpendek musim, dan memilih tanggal 31 Januari sebagai akhir musim dingin.
Meskipun Messner kemudian menerima pendakian tersebut, dia terus mengklaim bahwa pendakian itu ilegal. Akhirnya, Kementerian Pariwisata Nepal mengeluarkan sertifikat yang mengesahkan pendakian musim dingin Everest Polandia, dan membuat Messner harus menghentikan perang kontroversinya.
Pendakian Musim Dingin Lainnya di Everest
Pada tanggal 27 Desember 1982, Yasuo Kato dari Jepang mencapai puncak sendirian melalui rute normal. Namun Kato meninggal saat turun.
Pada 16 Desember 1983, pendaki Jepang Takashi Ozaki, Noboru Yamada, dan Kazunari Murakami, ditambah Nawang Yonden Sherpa dari Nepal, mencapai puncak melalui rute normal.
Pada 22 Desember 1987, Young-Ho Heo dari Korea Selatan dan Ang Rita Sherpa dari Nepal mencapai puncak melalui rute normal. Ang Rita Sherpa mendaki tanpa oksigen tambahan. Hingga saat ini, dia adalah satu-satunya orang yang telah mencapai puncak Everest pada musim dingin tanpa tabung oksigen bantuan.
Pendakian musim dingin terakhir dilakukan pada tanggal 18, 20, dan 22 Desember 1993. Pendaki alpinis Jepang Fumiaki Goto, Hideji Nazuka, Shinsuki Ezuka, Osamu Tanabe, Ryushi Hoshino, dan Yoshio Ogata mendaki melalui Southwest Face (rute Bonington).
Upaya yang Tidak Berhasil
Setidaknya ada 29 ekspedisi yang gagal mendaki Everest pada musim dingin. Mereka berbalik arah karena berbagai alasan, seperti kondisi berbahaya, angin kencang, cuaca yang sangat dingin, cuaca buruk, kelelahan, kekurangan oksigen, kecelakaan, atau batu yang berjatuhan.
Tujuh pendaki gunung meninggal selama ekspedisi musim dingin dilakukan. Seperti yang telah disebutkan, Yasuo Kato meninggal saat turun. Kematian lainnya disebabkan karena jatuh dari ketinggian di 8.800m, 8.700m, 7.500m, dan 6.800m. Seorang pendaki jatuh ke dalam jurang di ketinggian 6.300m, dan seorang sherpa meninggal karena penyakit Altitude ountain Sickness (AMS) di ketinggian 6.500m.
Pendaki asal Jerman, Jost Kobusch, mencoba pendakian musim dinginnya melalui Lho La-West Ridge. Ini adalah rute yang sama yang dia coba pada musim dingin 2019-2020 ketika dia mencapai 7.366m, dan pada musim dingin 2021-2022, ketika dia berbalik di ketinggian 6.450m dalam cuaca buruk.
Ekspedisi Musim Dingin Everest Inggris yang dipimpin oleh Alan Rouse pertama kali mencoba rute Kobusch pada musim dingin 1980-1981. Titik tertinggi mereka adalah 7.300m dalam cuaca buruk.
Pada musim dingin 1984-85, ekspedisi Prancis-Italia-Belgia yang dipimpin oleh Eric Dossin mencoba rute tersebut dan mencapai 7.500m. Sekali lagi, cuaca buruk menghentikan pendakian.
Pada musim dingin tahun 1985-1986, sebuah kelompok Korea Selatan yang dipimpin oleh Kim Ki-Heyg meninggalkan rute yang sama di ketinggian 7.100 m karena angin kencang. Mereka kelelahan dengan seorang anggota tim yang sakit, menurut The Himalayan Database. (Sulung Prasetyo)
+ There are no comments
Add yours