04 November 2024
insect food
Totalnya ada 20.000 jenis serangga kini diperdagangkan secara modern dipasar internet Thailand. Kebanyakan serangga tersebut kemudian diekspor juga ke Myanmar, Laos, Kamboja, serta Cina.

Views: 1564

Bayangkan dimasa depan, sarapan manusia adalah roti isi semut madu, makan siang dengan nasi dan sayur belalang, dan makan malam bermenu ulat sagu bakar, ditambah hidangan penutup puding isi kalajengking.

Kemungkinan tersebut bukan tanpa alasan. Makin banyaknya manusia, dan perhitungan untuk meminimalisasi penyebab pemanasan global menjadi latar belakangnya. Maka wajar bila Badan Pangan dan Pertanian Dunia (Food and Agriculture Organization/FAO) bahkan menyarankan delapan serangga yang paling mungkin dimakan dimasa depan.

Pada tahun 2030 nanti diperkirakan lebih dari sembilan milyar manusia hidup dibumi. Dengan jumlah sebanyak itu, maka membutuhkan banyak binatang untuk dijadikan makanan dan peliharaan. Padahal banyak dari satwa-satwa tersebut justru mengakibatkan kerusakan lingkungan, seperti penyebab pemanasan global. Seperti contohnya pada peternakan babi, yang menghasilkan 10-100 kali gas rumah kaca per kilogram daging yang dihasilkan.

Kondisi terbalik justru terjadi bila manusia mau mengkonsumsi serangga. Lebih banyak manfaat yang akan diterima manusia, terutama untuk lingkungan. Dimana serangga hanya membutuhkan lahan seluas dua meter persegi (m2), sementara sapi membutuhkan 145 – 260 m2. Berarti akan semakin sedikit lahan terbuka, dan deforestasi akan terjadi.

“Selain itu serangga bisa menghasilkan bio-waste, menggunakan hanya sedikit air, serta dapat dibiakkan dengan mudah,” ujar Afton Halloran, konsultan peneliti dari FAO pada program serangga layak makan.

Menurut penelitian FAO, produksi satu kilogram (kg) daging ayam membutuhkan air sebanyak 2.300 liter. Sementara babi sebanyak 3.500 liter, dan satu kg daging sapi mencapai 22.000 liter air. Sangat jauh berbeda, bila membandingkan dengan ulat, kalajengking atau semut madu yang mungkin hanya membutuhkan kurang dari 10 liter air, untuk pengembang biakan mereka.

Tradisional

Memakan serangga, secara tradisional sebenarnya telah dilakukan banyak manusia dari dulu. Seperti kebiasaan orang-orang di Papua, Indonesia yang mengkonsumsi ulat pohon sagu sebagai sumber protein.

Tak hanya itu, di daerah Jawa masih banyak orang yang memakan lebah dicampur dengan olahan ampas daging kelapa yang digoreng. Meskipun harus diakui, konsumsi serangga pada orang Indonesia tidak sebanyak seperti di Thailand, misalnya.

Bahkan di Cina, kini sebangsa kecoa telah dikembangkan sebagai makanan tambahan dan dijual bebas. Tentunya bukan kecoa seperti yang sering dilihat dijamban atau dapur. Namun jenis kecoa yang memiliki protein tinggi, dan daging yang lebih banyak.

Dalam sebuah laporan lain disebutkan kalau Thailand bisa memutarkan nilai ekonomi hingga US$ 30 juta, hanya dari penjualan serangga yang dapat dimakan. Dalam penelusuran online yang dilakukan, terlihat orang-orang Thailand bahkan menjual berbagai serangga secara bebas dipasar tradisional. Bahkan sebuah situs online memasarkan satwa seperti semut hamil, permen kalajengking, ulat dan belalang dalam kemasan. Totalnya ada 20.000 jenis serangga kini diperdagangkan secara modern dipasar internet Thailand. Kebanyakan serangga tersebut kemudian diekspor juga ke Myanmar, Laos, Kamboja, serta Cina.

Salah satu produk kudapan dari serangga yang kini sudah dijual bebas. (dok.wikipedia)

Potensi

Di Indonesia sendiri, potensi serangga sebagai makanan sebenarnya bukan main banyaknya. Lantaran Indonesia sebenarnya menyimpan jenis serangga terbanyak didunia. Seperti contohnya seperti pada Ekspedisi yang dilakukan BRIN dan Universitas California di Pegunungan Mekongga, Sulawesi Tenggara.

Pada penelitian pada tahun 2011 tersebut, sebanyak 150 jenis serangga baru berhasil ditemukan. Salah satu spesies baru yang paling menarik adalah spesies tawon raja. Tawon ini memiliki postur besar dengan rahang yang kuat, serta kaki depan yang lebih besar daripada spesies tawon lainnya.

Rosichon Ubaidillah, pakar serangga dari BRIN menyatakan kalau berbagai jenis serangga yang ditemukan tersebut baru sebagian kecil saja yang diketahui.

“Kemungkinan jumlahnya bisa makin bertambah banyak, kalau kegiatan tersebut terus dilakukan secara berkesinambungan dan dalam jangka waktu panjang,” ujar Ubaidillah, pada sebuah kesempatan.

Sementara untuk jenis serangga yang dapat dimakan, menurutnya belum banyak penelitian dari dalam negeri yang dilakukan. Namun ia mengakui banyak kearifan tradisional justru memiliki pengetahuan tersebut.

Jadi jangan kaget kalau dalam jangka waktu tidak lama lagi, makin banyak serangga yang akan dijual dalam kemasan. Banyak juga dibuat dengan menu serba aktraktif, seperti es krim dengan kumbang kelapa atau roti isi ulat sagu. (Sulung Prasetyo)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *