Views: 9

Pada suatu senja yang tidak biasa, laut tidak lagi memantulkan cahaya jingga yang menenangkan. Ia murung. Di bawah riak ombak, lebih dari 80 persen terumbu karang di dunia memucat. Bukan karena takut, tapi karena sekarat.

Para ilmuwan menyebutnya “peristiwa pemutihan global keempat.” Namun, tak seperti sebelumnya, kali ini berlangsung lebih panjang dan luas. “Ini adalah pemutihan terumbu karang terbesar dan paling parah dalam sejarah,” kata Dr. Derek Manzello dari National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA). Suaranya tenang, tapi nadanya seperti sedang membunyikan lonceng kematian bagi ekosistem laut yang rapuh.

Penjaga Kehidupan

Terumbu karang bukan sekadar batu berwarna-warni di dasar laut. Mereka adalah penjaga kehidupan. Di sela-sela celah karang, miliaran makhluk bergantung hidup—ikan, moluska, bahkan manusia pesisir. “Begitu mereka memutih, kita kehilangan lebih dari sekadar warna. Kita kehilangan nyawa,” ujar Dr. Putu Laksmi, ahli biologi laut dari Bali yang telah mengamati degradasi karang sejak 1998.

Kematian ini tidak datang tiba-tiba. Ia hasil dari pemanasan laut, akibat manusia yang rakus membakar bumi. Suhu permukaan laut yang melampaui ambang toleransi membuat karang mengusir zooxanthellae—alga mikroskopik yang memberi mereka makanan dan warna. Hasilnya: pemutihan. Lalu perlahan, kematian.

Bencana Ekologis

Di Bondalem, Bali Utara, tempat para penyelam dulu disambut warna-warni kehidupan laut, kini seperti museum bencana ekologis. “Saya seperti berenang di atas kuburan,” kata I Wayan Darma, instruktur selam lokal yang kehilangan separuh pendapatannya karena tamu asing berhenti datang.

Namun, di tengah gelap, masih ada lilin menyala. Beberapa inisiatif seperti restorasi karang yang digerakkan komunitas lokal mencoba menanam harapan baru. Pemerintah Singapura bahkan mengklaim akan menanam 100.000 karang dalam 10 tahun. Tapi akankah cukup?

“Restorasi penting, tapi itu seperti memasang plester pada luka yang disebabkan peluru. Selama emisi gas rumah kaca terus meningkat, pemutihan akan terus terjadi,” tegas Dr. Sylvia Earle, oceanografer legendaris dunia, dalam satu wawancaranya.

Kita tidak butuh lebih banyak data. Kita butuh keputusan. Terumbu karang adalah alarm alam. Mereka memberi tahu bahwa bumi sedang demam, dan panasnya membunuh. Jika kita tidak mendengarkan, maka mungkin suatu hari nanti, anak-anak kita hanya akan mengenal terumbu karang dari gambar di buku yang kusam, bukan dari pengalaman menyelam dalam laut biru yang hidup. (Wage Erlangga)

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours