Views: 7
Seekor hiu paus sepanjang 10 meter dengan bobot sekitar 1,5 ton yang ditemukan mati terdampar di Pantai Garongan, Panjatan, Kulonprogo, pada November 2023, menjadi satu dari sekian banyak kasus serupa yang terus berulang di Indonesia. Namun penelitian terbaru yang dimuat dalam jurnal Scientific Reports kini memberikan penjelasan lebih mendalam. Hiu paus tidak terdampar secara acak, melainkan karena kombinasi kompleks antara aktivitas manusia, perubahan laut, dan naluri biologis mereka sendiri.
Penelitian ini dilakukan oleh tim ilmuwan kelautan dari berbagai lembaga di Indonesia dan luar negeri, yang menganalisis lebih dari satu dekade data peristiwa terdampar menggunakan citra satelit dan model oseanografi. Salah satu temuan utama menunjukkan bahwa sebagian besar hiu paus mengikuti konsentrasi plankton dan ikan kecil — sumber makanan utama mereka — hingga ke perairan dangkal yang berbahaya.
“Hiu paus memiliki naluri makan yang sangat kuat,” jelas peneliti utama, Mochamad Iqba Herwata Putra. “Ketika terjadi ledakan plankton di dekat pantai akibat limpasan nutrien atau polusi, mereka akan mengejar sumber makanan itu tanpa menyadari bahwa perairan tersebut terlalu dangkal untuk ukuran tubuh mereka.”
Akibatnya, hiu paus yang masuk ke teluk sempit atau muara sering kesulitan bermanuver. Tubuh raksasa mereka membuat sulit untuk berbalik arah, apalagi ketika pasang surut berubah cepat atau kadar oksigen menurun.
Aktivitas Manusia dan Perubahan Iklim
Selain faktor biologis, aktivitas manusia ternyata berperan besar dalam membuat hiu paus tersesat. Lalu lintas kapal, kebisingan bawah laut, dan jaring ikan yang dipasang di pesisir menjadi jebakan tak terlihat.
Kebisingan dari kapal besar dan perahu nelayan mengganggu kemampuan hiu paus mendeteksi getaran air, yang merupakan salah satu cara mereka menavigasi lingkungan. Di beberapa wilayah seperti Jawa Timur, Maluku, dan Papua Barat, lokasi terdampar sering berdekatan dengan daerah penangkapan ikan intensif.
“Seringkali hiu paus terlilit jaring atau tali tambat dari keramba ikan,” tulis laporan tersebut. “Begitu kehilangan kendali daya apung, mereka mudah terseret arus dan akhirnya kandas di perairan dangkal.”
Selain aktivitas manusia, perubahan iklim juga memainkan peran penting. Laut Indonesia, yang berada di jantung Segitiga Terumbu Karang dunia, kini mengalami fluktuasi suhu, arus, dan upwelling yang semakin ekstrem.
Hiu paus merupakan satwa migran yang bergantung pada stabilitas suhu dan arus laut untuk mencari makan. Ketika pola arus dan distribusi plankton berubah akibat fenomena seperti El Niño, mereka mengikuti jalur makanan ke wilayah baru — yang terkadang berujung pada daerah berisiko tinggi.
“Beberapa kejadian terdampar ternyata bertepatan dengan tahun-tahun anomali iklim,” kata Putra lagi. “Itu menunjukkan bahwa perubahan suhu dan arah arus laut bisa mengarahkan mereka ke perairan yang sebelumnya tidak mereka masuki.”

Perangkap Ekologis di Pesisir
Para peneliti menggunakan istilah “perangkap ekologis” (ecological trap) untuk menjelaskan bagaimana hiu paus tertarik ke lingkungan berbahaya yang diciptakan manusia. Pembangunan pelabuhan, keramba ikan, hingga resort wisata telah mengubah garis pantai alami dan menciptakan sinyal lingkungan palsu.
Cahaya buatan dari kapal atau lampu bawah laut di malam hari menarik plankton — dan otomatis menarik hiu paus yang memangsanya. Ketika air surut, hewan-hewan besar ini sering kali terjebak di teluk atau laguna dangkal.
Peneliti juga melibatkan pelacakan satelit terhadap beberapa individu hiu paus di Teluk Cenderawasih, Papua Barat, salah satu lokasi utama mereka berkumpul. Data menunjukkan bahwa hiu-hiu ini sering mendekati bagan — platform nelayan tradisional yang menggunakan lampu terang untuk menarik ikan teri.
Bagi hiu paus, cahaya itu tampak seperti tanda keberadaan makanan melimpah. Mereka mendekat, terkadang menabrak jaring atau tali pengikat bagan. Meski interaksi ini sering dimanfaatkan sebagai atraksi wisata, para ilmuwan mengingatkan bahwa perilaku memberi makan oleh manusia bisa mengubah pola migrasi alami dan meningkatkan risiko terdampar.
Seruan untuk Pencegahan dan Kebijakan
Penelitian tersebut menegaskan bahwa pencegahan terdamparnya hiu paus tidak cukup dengan penanganan setelah kejadian. Diperlukan kebijakan terpadu yang melibatkan ilmuwan, nelayan, dan pemerintah daerah.
Rekomendasi utama meliputi:
- pengaturan kebisingan kapal di area sensitif,
- pembatasan cahaya buatan di pesisir,
- pemantauan kualitas air,
- serta sistem peringatan dini di lokasi yang rawan stranding.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah membentuk tim tanggap cepat berbasis masyarakat untuk mengevakuasi hiu paus yang terdampar. Namun, menurut para ahli, pencegahan tetap menjadi tantangan besar di negara kepulauan dengan lebih dari 17 ribu pulau.
“Hiu paus adalah indikator kesehatan laut,” lanjut Putra. “Ketika mereka terdampar, itu bukan sekadar insiden, tapi peringatan bahwa ekosistem laut kita sedang tidak seimbang.”
Kasus-kasus hiu paus terdampar di Indonesia seharusnya dibaca sebagai sinyal peringatan dari samudra. Fenomena ini memperlihatkan bagaimana aktivitas manusia — dari polusi hingga pembangunan pesisir — telah mengubah perilaku salah satu makhluk laut paling besar dan damai di dunia.
Jika tidak ada perubahan nyata dalam pengelolaan laut dan pesisir, para ilmuwan khawatir bahwa “pesan dari hiu paus” akan terus berulang di masa depan — dalam bentuk tubuh raksasa lain yang terbujur di pasir pantai, diam, dan menjadi simbol kesalahan manusia terhadap lautnya sendiri. (Sulung Prasetyo)





