Views: 10
Lebih dari seabad lalu, Robert Falcon Scott dan Roald Amundsen memimpin ekspedisi bersejarah menuju Kutub Selatan. Saat itu, tak banyak yang mereka tahu soal nutrisi, fisiologi, atau bagaimana tubuh beradaptasi dalam kondisi ekstrem. Kini, ekspedisi serupa dilakukan dengan dukungan teknologi modern—mulai dari sled berbahan Kevlar, pakaian insulasi mutakhir, hingga ransum beku-kering yang praktis. Namun satu hal tetap sama, yaitu tubuh manusia masih menjadi taruhannya.
Selama tiga dekade terakhir, Antartika tak hanya menjadi arena petualangan, tetapi juga laboratorium terbuka. Para peneliti mengumpulkan data dari 12 ekspedisi sled, melibatkan puluhan pria dan wanita yang menempuh jarak ratusan hingga ribuan kilometer. Dari sana, lahir pemahaman baru tentang bagaimana tubuh bekerja, bertahan, dan berubah di tengah tekanan fisik dan mental yang luar biasa.
Hasilnya? Tubuh manusia ternyata punya cara unik menyesuaikan diri, tetapi dengan harga yang tak murah.
Berat Badan Turun
Meski ransum harian mereka mencapai 5.000 hingga 6.500 kalori—dua kali lipat kebutuhan orang dewasa biasa—para penjelajah tetap kehilangan berat badan. Bukan sekadar satu-dua kilogram, melainkan bisa mencapai 7 hingga 15 persen dari total berat tubuh.
“Tidak peduli seberapa banyak mereka makan, tubuh tetap terbakar habis,” tulis Mabliny Thuani, penulis utama laporan penelitian tersebut. Lemak menjadi cadangan energi utama yang lenyap, tetapi otot dan jaringan lain pun tak luput terkena dampaknya, tergantung kondisi perjalanan dan beban yang dibawa.

Tulang, Jantung, dan Hormon Teruji
Beban sled yang berat juga meninggalkan jejak pada kerangka tubuh. Sejumlah perempuan yang menempuh perjalanan 1.700 kilometer dengan sled seberat 80 kilogram, misalnya, mengalami penurunan kepadatan tulang di rusuk dan tulang belakang. Untungnya, efek ini bisa pulih setelah mereka kembali ke kehidupan normal.
Di dataran tinggi Antartika, tubuh menghadapi tantangan tambahan yaitu udara tipis yang memicu kekurangan oksigen. Kapasitas aerobik menurun, jantung bekerja ekstra, dan setelah ekspedisi usai, sistem saraf butuh waktu untuk menyeimbangkan diri kembali.
Yang tak kalah menarik adalah perubahan hormon. Leptin, yang biasanya memberi sinyal “kenyang”, dan adiponektin, yang memicu rasa lapar, menurun drastis. Akibatnya, tubuh kehilangan kemampuan alami untuk memberi tahu kapan ia perlu makan atau berhenti makan.
Pertarungan Psikologis
Selain tubuh, pikiran pun diuji. Bayangkan berhari-hari hidup dalam lanskap yang sama, di bawah matahari yang tak pernah tenggelam. Isolasi, monoton, dan kesunyian bisa menjadi lawan yang lebih berat daripada badai salju.
Beberapa penjelajah melaporkan gangguan tidur, suasana hati yang mudah goyah, bahkan penurunan konsentrasi. Di titik inilah, kekuatan tim menjadi penyelamat. Studi tentang ekspedisi yang dipimpin perempuan menemukan, keputusan kolektif, kepemimpinan berbagi, serta dukungan emosional antar anggota tim menjadi kunci sukses.
“Di kondisi seperti itu, rasa percaya pada rekan satu tim lebih berarti daripada apa pun,” tambah Mabliny.
Dari Kutub ke Luar Angkasa
Mengapa temuan ini penting? Karena apa yang terjadi di Antartika memberi gambaran tentang kondisi ekstrem lain—bahkan yang jauh di luar Bumi. Isolasi, stres mental, kebutuhan energi tinggi, dan adaptasi tubuh mirip dengan tantangan yang akan dihadapi astronot di Mars atau Bulan.
Dengan kata lain, setiap langkah ski yang meninggalkan jejak di salju Antartika, sesungguhnya juga membuka jalan bagi misi manusia ke luar angkasa.
Namun penelitian ini baru langkah awal. Dari 12 studi, hanya 42 peserta unik yang datanya bisa dianalisis penuh. Artinya, kesimpulan masih terbatas, dan banyak pertanyaan yang menunggu jawaban: bagaimana perbedaan adaptasi antara pria dan wanita? Seberapa besar pengaruh variasi rute atau ketinggian? Bagaimana menjaga kesehatan jangka panjang setelah ekspedisi?
Meski begitu, satu hal sudah jelas. Ekspedisi sled di Antartika bukan hanya tentang menaklukkan alam. Ia adalah kisah tentang bagaimana tubuh manusia, dengan segala keterbatasan dan keajaibannya, terus beradaptasi menghadapi ujian paling ekstrem di planet ini. (Sulung Prasetyo)





