Views: 12
Bukan tenda di padang sabana Afrika, bukan pula kabin mewah di lembah Norwegia. Hanya sebuah hostel tua di Braemar, Skotlandia, berdinding batu dan jendela kayu kecil yang berembun. Tapi di sinilah, di tengah dingin dan sepi pegunungan Cairngorms, empat puluh perempuan dari berbagai latar belakang hidup memilih untuk berkumpul, menjauh sejenak dari riuh dunia dan menyelam ke dalam sesuatu yang lebih dalam dari sekadar petualangan.
Mereka menyebutnya Hostel Hoolie. Sebuah nama yang terdengar ringan, bahkan sedikit lucu. Tapi di balik tawa-tawa malam hari dan jejak-jejak sepatu yang membekas di tanah lembap, tersimpan kisah tentang pencarian akan jati diri, kebersamaan yang jujur, dan keberanian untuk menantang ketakutan yang telah lama mengakar.
Datang Tanpa Judul, Pulang dengan Kekuatan
Perempuan-perempuan itu datang tanpa gelar, tanpa status sosial, dan tanpa harus menunjukkan kehebatan. Tak ada perlombaan, tak ada podium, dan tak ada medali. Yang ada hanyalah jalur-jalur sunyi yang menanjak, hutan-hutan pinus yang diam, dan udara musim dingin yang menusuk. Sebagian dari mereka baru pertama kali menginjakkan kaki di gunung. Sebagian lain datang karena ingin menantang dirinya sendiri setelah kehilangan arah dalam hidup.

“Aku tidak pernah merasa sebebas ini,” kata Emily, seorang guru dari Inverness, yang datang ke acara ini setelah menjalani terapi depresi selama dua tahun. “Tak ada yang peduli aku lambat atau kuat. Yang penting aku melangkah.”
Hostel Hoolie digagas oleh dua organisasi yang memang mengakar dalam semangat inklusi dan pemberdayaan perempuan—Girls on Hills Ltd dan The Adventure Syndicate. Diselenggarakan pada Desember 2024, acara ini didukung oleh Hostelling Scotland dan mengambil tempat di salah satu lokasi paling liar di Skotlandia, Braemar, yang dikelilingi pegunungan tertutup salju dan kabut.
“Ketika perempuan berkumpul di luar ruangan, energi yang tercipta luar biasa. Bukan energi untuk mengalahkan, tapi untuk menyembuhkan,” kata Lee Craigie, pendiri The Adventure Syndicate dan mantan atlet sepeda gunung yang kini aktif mengembangkan program petualangan berbasis komunitas.
Hari-Hari yang Tak Terlupakan
Pagi dimulai dengan kabut. Udara dingin menggigit kulit, dan aroma tanah basah bercampur dengan embun di rerumputan. Sarapan sederhana—teh panas, bubur oat, dan roti bakar—menjadi bahan bakar untuk tubuh yang akan menempuh jalur-jalur alami di sekitar dataran tinggi. Tak ada paksaan. Peserta bisa memilih berlari di jalur 5 km, trekking ke puncak bukit kecil, atau hanya berjalan santai di hutan pinus.
“Yang menarik, setiap kegiatan punya fasilitator, tapi tidak ada tekanan. Kalau aku ingin berhenti dan duduk memandangi kabut, mereka duduk bersamaku. Tidak menyuruh lanjut, tidak juga menilai,” ujar Aisling, seorang perempuan usia 50-an yang datang dari Glasgow.
Sore hari diisi dengan sesi berbagi di ruang tengah hostel—ruang yang menghangat bukan karena pemanas listrik, tapi karena tawa dan kisah-kisah yang dibagikan. Ada cerita tentang perceraian yang menyakitkan, tentang ketidakpercayaan diri karena bentuk tubuh, tentang kehilangan arah setelah pandemi. Di Hostel Hoolie, cerita-cerita itu diterima, dipeluk, dan dilakukan bersama.
Bukan Gunungnya, Tapi Perjalanannya
Di akhir pekan itu, tidak ada catatan waktu tercepat atau pendakian tertinggi. Tapi setiap perempuan membawa pulang sesuatu yang jauh lebih penting dari pencapaian fisik: kekuatan batin, persaudaraan baru, dan semangat untuk terus bergerak.
Bagi mereka yang pernah merasa tidak cukup baik untuk masuk ke dunia petualangan—terlalu tua, terlalu kurus, terlalu gemuk, terlalu pemula—Hostel Hoolie adalah ruang yang membebaskan. Di sinilah keberanian tidak diukur dari jarak, tapi dari niat untuk hadir dan menerima diri apa adanya.
“Bertahun-tahun aku menahan keinginan untuk ikut komunitas hiking, karena aku pikir ini bukan untukku,” ujar seorang peserta bernama Mary. “Tapi di sinilah aku merasa: alam adalah milik kita semua.”
Hostel Hoolie bukan akhir, tapi awal dari perjalanan yang lebih panjang. Setelah kegiatan ini, banyak peserta melanjutkan dengan membentuk kelompok kecil di kota masing-masing. Ada yang mulai rutin berjalan kaki di taman kota, ada yang menantang diri mencoba panjat tebing, bahkan ada yang mendaftarkan diri sebagai relawan di program konservasi alam.

Kembali ke Diri Sendiri
Ketika pagi terakhir datang, dan kabut perlahan membuka jalan bagi cahaya matahari musim dingin yang malu-malu, suasana menjadi hening. Tak ada yang ingin buru-buru pulang. Di jendela hostel, embun membentuk pola acak seperti peta perjalanan yang belum selesai.
Mereka saling memeluk. Ada yang menangis, ada yang hanya tersenyum. Tapi semua tahu, sesuatu telah berubah.
Bukan semata tubuh yang lebih kuat. Tapi keberanian untuk menantang batasan yang selama ini ditanamkan—oleh masyarakat, oleh ketakutan, dan oleh suara kecil di dalam diri yang berkata “aku tidak bisa.”
Di Hostel Hoolie, mereka belajar bahwa mereka bisa. Dan lebih dari itu, mereka layak.
Penulis : Sulung Prasetyo
Foto Utama : Beth Calmers/The Guardian/Facebook
+ There are no comments
Add yours