Amazon Bawah Laut Menolak Menyerah pada Panas

Views: 0

Di bawah permukaan air biru kehijauan Asia Tenggara, terbentang dunia yang tak kalah kompleks dan menakjubkan dari hutan hujan Amazon. Kawasan itu dikenal sebagai Segitiga Karang (Coral Triangle) — wilayah laut tropis yang meliputi Indonesia, Filipina, Malaysia, Papua Nugini, Timor-Leste, dan Kepulauan Solomon. Banyak ilmuwan menyebutnya sebagai Amazon bawah laut, karena kekayaan hayatinya yang luar biasa dan perannya dalam menopang kehidupan jutaan manusia.

Dengan luas sekitar enam juta kilometer persegi, wilayah ini menjadi rumah bagi 76 persen spesies karang dunia, hampir 37 persen ikan karang, dan enam dari tujuh spesies penyu laut yang ada di Bumi. Dari dugong yang lembut hingga paus biru raksasa, dari ikan kecil yang berwarna-warni hingga predator besar, kehidupan di Segitiga Karang menggambarkan betapa luar biasanya keanekaragaman di jantung samudra.

Namun seperti halnya Amazon, surga bawah laut ini menghadapi ancaman besar — dari penangkapan ikan berlebihan dan pembangunan pesisir hingga perubahan iklim. Meski demikian, penelitian menunjukkan secercah harapan. Ekosistem di Segitiga Karang tampak lebih tangguh dibanding terumbu karang lain di dunia, memberi petunjuk penting tentang masa depan laut global.

Jantung Kehidupan Laut Dunia

Segitiga Karang berada di persimpangan antara Samudra Pasifik dan Samudra Hindia, tempat arus hangat bertemu dan membawa nutrisi yang melimpah. Pertemuan dua samudra ini menciptakan kondisi ideal bagi kehidupan laut untuk tumbuh — mulai dari plankton mikroskopis hingga predator besar.

“Wilayah ini adalah jantung biodiversitas laut dunia,” ujar Nadia Santodominggo, ahli kelautan dari Museum Sejarah Alam Inggris (NHM). “Apa yang terjadi di sini, berdampak pada lautan di seluruh dunia.”

Bagi masyarakat pesisir — terutama nelayan kecil dan komunitas tradisional — Segitiga Karang bukan hanya keajaiban alam, tetapi juga sumber kehidupan. Terumbu karangnya menyediakan makanan, mata pencaharian, dan pelindung alami dari abrasi pantai bagi lebih dari 120 juta orang yang tinggal di sekitarnya.

Benteng Rapuh yang Masih Bertahan

Meski tertekan oleh berbagai ancaman, para ilmuwan menemukan bahwa terumbu di Segitiga Karang menunjukkan kemampuan bertahan yang luar biasa. Tidak seperti laut tropis lain yang jernih, perairan di kawasan ini justru sering keruh karena endapan sedimen dari sungai dan hutan bakau di sekitarnya.

Sekilas, kondisi itu tampak buruk bagi karang yang membutuhkan cahaya matahari untuk hidup. Namun, kenyataannya justru sebaliknya. Air yang sedikit keruh membantu melindungi karang dari sinar matahari berlebih dan panas ekstrem — dua pemicu utama pemutihan karang (coral bleaching).

“Karang di sini tumbuh dalam kondisi yang keras,” tambah Nadia. “Mereka sudah terbiasa hidup dengan sedikit cahaya dan banyak sedimen, sehingga lebih tahan terhadap panas.”

Selain itu, tingginya keragaman genetik di kawasan ini memberikan kekuatan tambahan bagi ekosistem untuk pulih setelah gangguan lingkungan. Karena itulah, ketika terumbu di banyak tempat memutih dan mati, Segitiga Karang masih menunjukkan tanda-tanda kehidupan yang kuat.

Pertarungan di Banyak Medan

Namun daya tahan itu bukan berarti tanpa batas. Segitiga Karang kini menghadapi tingkat kerusakan terumbu yang meningkat cepat, akibat penangkapan ikan yang berlebihan, pencemaran, dan pembangunan pesisir yang tak terkendali. Limbah plastik menutupi polip karang, sementara limpasan pupuk dari pertanian memicu pertumbuhan alga yang menutup cahaya matahari.

Perubahan iklim tetap menjadi ancaman terbesar. Suhu laut yang meningkat dapat mendorong karang melampaui batas toleransinya, sementara pengasaman laut membuat kerangka karang rapuh. Bahkan karang yang paling kuat pun bisa mati jika stres lingkungan terjadi terus-menerus.

Bagi negara-negara di dalam wilayah ini, melindungi Segitiga Karang bukan hanya soal ekologi, tetapi juga soal kelangsungan hidup. Jika perikanan runtuh, ketahanan pangan akan terganggu. Jika terumbu hilang, pantai akan terkikis, pariwisata merosot, dan ekonomi pesisir terpukul.

komodoo coral
Terumbu karang di Kepulauan Komodo merupakan bagian dari Coral Triangle atau segitiga terumbu karang, yang dikenal sebagai amazon laut dunia. (dok. Lingkar Bumi/Sulung Prasetyo)

Lomba Melindungi Amazon Bawah Laut

Dalam beberapa tahun terakhir, berbagai upaya konservasi diluncurkan. Inisiatif terbesar adalah Coral Triangle Initiative on Coral Reefs, Fisheries, and Food Security (CTI-CFF) — kerja sama regional yang dimulai pada 2009 untuk mendorong perikanan berkelanjutan, memperluas kawasan konservasi laut, dan meningkatkan ketahanan terhadap perubahan iklim.

Di tingkat lokal, gerakan masyarakat juga mulai tumbuh. Di Indonesia dan Filipina, nelayan tradisional menghidupkan kembali sistem pengelolaan laut kuno seperti sasi dan panglima laut, yang menetapkan masa larangan tangkap untuk memberi waktu bagi ikan dan karang untuk pulih.

Para ahli percaya, strategi berbasis komunitas seperti ini dapat menjadi kunci keseimbangan antara manusia dan alam — menjaga laut tetap produktif tanpa merusak fondasi kehidupan yang menopangnya.

Pelajaran dari Laut untuk Dunia yang Memanas

Ketika terumbu karang di seluruh dunia terus mengalami kematian massal, para ilmuwan mulai menoleh ke Segitiga Karang untuk mencari jawaban. Apakah kombinasi unik antara spesies, kondisi air, dan interaksi dengan daratan bisa menjadi cetak biru bagi konservasi global?

Temuan awal menunjukkan bahwa menjaga keragaman genetik, mempertahankan arus alami sedimen, serta melindungi ekosistem penopang seperti mangrove dan padang lamun bisa menjadi strategi penting agar karang bertahan di abad yang makin panas ini. (Wage Erlangga)

Baca juga:

Artikel Dari Penulis Yang Sama

us inhaler

Inhaler Meredakan Sesak Napas, namun Merusak Lingkungan

Oskar Speck, Penjelajah yang Tak Disadari Dunia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *