makanan angkringan

MENGEMAS ANGKRINGAN DALAM KEMEWAHAN

Views: 504

Di Yogyakarta, fenomena angkringan mungkin bisa dikaitkan dengan kesederhanaan. Tapi dikota besar seperti Jakarta, angkringan berubah menjadi sosok yang diam-diam mendatangkan omzet besar.

Puluhan tahun lalu, dalam masa kesederhanaan, memilih makan di angkringan bisa menjadi solusi. Harganya yang murah, menjadikan angkringan cocok untuk kantong bokek para pemuda. Maka wajar bila warung-warung nasi murah itu banyak terdapat disekitar kampus-kampus.

Salah satu pengalaman yang masih merajalela ada disekitaran kota Yogyakarta. Warung nasi itu menjadi incaran para mahasiswa yang punya uang pas-pasan. Warungnya hanya kecil saja, dipojok-pojok yang gelap. Pedagangnya mengandalkan persahabatan, dan hanya berisi makanan-makanan yang intinya bisa mengganjal perut.

Angkringan di wilayah Tuban juga sudah mulai mengemas makanan tersebut dalam bungkus kemewahan. (dok. lingkar bumi)

Angkringan Jakarta

Di Yogyakarta, warung angkringan hanya berisi nasi dalam bungkus-bungkus kecil, berisi ikan teri atau tempe iris. Tambahan lauk biasanya berbagai macam sate tusuk, mulai dari usus, jeroan ayam, tempe goreng, ceker dan kepala ayam. Semuanya murah, dan setengah-setengah mengenyangkan perut.

Fenomena itu kemudian juga menggejala di Jakarta. Beban hidup yang tinggi di kota besar, membuat pilihan nasi angkringan mendapat tempat untuk dihampiri. Tapi di Jakarta berbeda, meskipun jenis makanan masih sama. Bedanya di Jakarta, warung angkringan lebih digunakan untuk sarana aktualisasi diri. Makan di angkringan seperti menjadi ikon yang harus dilakukan pemuda perkotaan, agar sah dianggap sebagai anak tongkrongan.

Seperti di angkringan yang berada di Fatmawati, Jakarta. Kebanyakan orang yang datang sepertinya hanya ingin dianggap sebagai anak gaul sejati. Mereka rela mengantri berjam-jam, hanya untuk mendapatkan sedikit tempat duduk. Bahkan ada yang sudah datang, sebelum warung resmi dibuka tiap menjelang malam.

Yulaika Widhiastuti juga merasakan hal tersebut. Wajahnya yang redup, akhirnya berubah riang saat akhirnya mendapatkan tempat makan di angkringan Fatmawati. Menurutnya ia sebelumnya sudah cape mencari-cari angkringan ini. Namun saat akhirnya bisa ketemu, orang-orang terlanjur sudah antri ingin makan juga.

“Bisa lebih dari 15 menit mengantri. Lebih baik langsung pilih aja semua yang ingin dimakan, daripada nanti mengantri lagi dari awal,” imbuh Widhi.

Ia terlihat menenteng sebuah piring kecil, berisi sate telur puyuh, usus dan sayap ayam goreng. Sementara tangan satunya membawa dua bungkus kecil nasi teri.

Beda lagi dengan angkringan di Riau, yang sudah memiliki tempat permanen dan meninggalkan gerobak. (dok. lingkar bumi/riau pos)

Angkringan Depok

Sama seperti itu juga fenomena warung angkringan diseputaran jalan Margonda, Depok. Kalau dirunut hingga awal September 2015 ini, sudah ada tiga warung angkringan kini ada di Margonda. Padahal dekade sebelumnya, jumlah warung angkringan hampir tak ada sama sekali.

Salah satu warung angkringan di Depok yang menjadi sasaran tongkrongan, dengan nama jual ‘Pak Kumis’. Ada dua warung angkringan Pak Kumis berjejer bersebrangan. Satu mencari sasaran pembeli yang ingin ke Depok, satu yang menuju arah Jakarta.

Menurut Ade, salah satu penjual diangkringan itu metode penjualan angkringan Pak Kumis agak berbeda. Mereka tidak memilih membuka warung angkringan seperti normalnya menggunakan gerobak kecil. Justru mereka mencari lahan luas dipinggir jalan Margonda, seperti parkir bengkel yang tidak dipergunakan saat malam hari.

“Kebanyakan yang beli mahasiswa yang tidak bisa tidur, dan ingin nongkrong saja,” urai Ade.

Masalah harga sepertinya tak terlalu dirisaukan mereka. Sangat berbeda dengan jenis mahasiswa yang disebutkan diawal artikel ini di Jogjakarta. Kebanyakan yang datang ke angkringan di Margonda, justru sepertinya dari kalangan menengah ke atas. Mereka datang dengan mobil-mobil atau minimal membawa kendaraan roda dua.

Menyadari daya beli yang lebih tinggi, maka warung angkringan Pak Kumis menawarkan jenis makanan yang berbeda. Seperti nasi sambel belut, yang jarang ada di warung angkringan manapun di Jakarta. Ternyata banyak yang membeli jenis makanan itu, meskipun harganya terhitung paling mahal, hingga Rp 20.000 per porsi.

“Kalau makan nasi belut, ditambah sate lima tusuk dan minum dua jenis totalnya bisa mendekati Rp 50.000 sekali makan,” kata Ade lagi.

Itu belum luar biasa sekali, di daerah Utan Kayu, Jakarta warung angkringan bahkan dirombak lebih bernuansa mewah. Warung kecil itu ditaruh didalam sebuah café yang bersih, dan memiliki tempat duduk sofa tebal. Atau bisa juga tetap memilih gaya lesehan, dengan gazebo kayu berkualitas ekspor.

Para pembelinya bahkan difasilitasi dengan sambungan internet gratis berbasis wifi. Lengkap juga dengan toilet yang bisa dipergunakan kapan saja, layaknya makan di restoran-restoran mahal.

Jenis makanan juga lebih disepadankan dengan kebutuhan modern, seperti nasi berbahan organik yang ramah lingkungan. “Hebatnya lagi makanan disini tidak mengandung MSG (vetsin-red), yang tidak baik untuk kesehatan,” kata seorang pengunjung.

Masalah harga, jangan ditanya, meski menurut penjualnya masih bisa bersaing dengan angkringan model klasik disekitaran Jakarta yang lain. Namun tak dapat dipungkiri, angkringan kini sudah mendapat tempat dibanyak kalangan. Bahkan kelas berduit, yang tidak pusing harus membayar untuk kenyamanan dan rasa yang diinginkan. (sulung prasetyo) 

DAFTARKAN EMAIL ANDA

Dapatkan info terbaru dari LINGKAR BUMI

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours